Hari-hari
ini kita telah memasuki bulan suci Muharram di tahun
baru 1432 Hijriah.
Seakan tidak terasa, waktu berjalan dengan cepat; pergantian hari, pekan,
bulan, dan tahun berlalu silih berganti seiring dengan bergantinya siang dan
malam.
Sebagai seorang hamba Allah tentu saja kita dituntut untuk memanfaatkan umur kita dalam rangka beribadah kepada-Nya di segala bulan yang ada, akan tetapi
syariat Islam juga mengajarkan kepada kita bahwa ada
beberapa bulan yang memiliki keutamaan, karakteristik dan ibadah tertentu yang
dianjurkan padanya. Atas dasar itulah Al Imam Ibnu Rajab Al Hanbali
rahimahulloh menyusun kitabnya yang berjudul “Lathoif Al Ma’aarif Fiimaa
Limawaasimil ‘Aam minal Wazhoif”, kitab beliau ini merinci keutamaan beberapa bulan yang ada beserta amalan-amalan sholeh yang dianjurkan
padanya.
Bagaimana dengan bulan Muharram, apa
saja keutamaannya dan ibadah apa yang dianjurkan padanya? Semoga tulisan yang
ringkas dan sederhana ini bisa memberikan pencerahan bagi anda, wahai para pecinta
sunnah Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam.
Penamaan Bulan Ini
Kata
Muharram secara bahasa, berarti diharamkan. Abu ‘Amr ibn Al ‘Alaa berkata, “Dinamakan
bulan Muharram karena peperangan(jihad)
diharamkan pada bulan tersebut”
(Tarikh Ad Dimasyq 1/51); jika saja jihad yang disyariatkan lalu hukumnya menjadi
terlarang pada bulan tersebut maka hal
ini bermakna perbuatan-perbuatan yang secara asal telah dilarang oleh Allah Ta’ala memiliki penekanan
pengharaman untuk lebih dihindari secara khusus pada bulan ini.
Beberapa Keutamaan Bulan Muharram
a. Bulan Muharram
Merupakan Salah Satu Diantara Bulan-Bulan Haram
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ
اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا
تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا
يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
"Sesungguhnya bilangan bulan
pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan)
agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang
empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun
memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang
yang bertakwa."
(Q.S. at Taubah :36).
Salah seorang ahli tafsir dari kalangan tabi’in yang bernama Qatadah bin
Di’amah Sadusi rahimahulloh menyatakan, “Amal sholeh lebih besar pahalanya
jika dikerjakan di bulan-bulan haram sebagaimana kezholiman di bulan-bulan
haram lebih besar dosanya dibandingkan dengan kezholiman yang dikerjakan di
bulan-bulan lain meskipun secara umum kezholiman adalah dosa yang besar” (lihat
Tafsir Al Baghawi dan Tafsir Ibn Katsir)
Dalam hadis yang diriwayatkan dari
sahabat Abu Bakrah radhiyallohu anhu, Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam menjelaskan
keempat bulan haram yang dimaksud :
إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ
كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ
اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو
الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى
وَشَعْبَانَ
“Sesungguhnya zaman itu berputar
sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan
bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang
dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan
yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat diantara
bulan Jumada Akhiroh dan Sya’ban.” [ HR. Bukhari (3197) dan Muslim(1679) ]
Para ulama bersepakat bahwa keempat bulan haram tersebut memiliki keutamaan
dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain selain Ramadhan, namun demikian
mereka berbeda pendapat, bulan apakah yang paling afdhal diantara keempat bulan
haram yang ada ? Imam Hasan Al Bashri rahimahulloh dan beberapa ulama lainnya
berkata, “Sesungguhnya Allah telah memulai waktu yang setahun dengan
bulan haram (Muharram) lalu menutupnya juga dengan bulan haram (Dzulhijjah) dan
tidak ada bulan dalam setahun setelah bulan Ramadhan yang lebih agung di sisi
Allah melebihi bulan Muharram” (Lihat : Lathoif Al Ma’arif hal 36)
b. Bulan Muharram disifatkan sebagai Bulan Allah
Kedua belas bulan yang ada adalah makhluk ciptaan Allah, akan tetapi bulan
Muharram meraih keistimewaan khusus karena hanya bulan inilah yang disebut
sebagai “syahrullah” (Bulan Allah)
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ
شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ
صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah
Ramadhan adalah puasa di bulan Allah
(yaitu) Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu
adalah shalat malam”. [ H.R.
Muslim (11630) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallohu anhu]
Hadits ini
mengindikasikan
adanya keutamaan khusus yang dimiliki
bulan Muharram karena disandarkan kepada lafzhul Jalalah (lafazh Allah). Para Ulama telah menerangkan
bahwa ketika suatu makhluk disandarkan pada
lafzhul Jalalah
maka itu
mengindikasikasikan tasyrif (pemuliaan) terhadap makhluk tersebut,
sebagaimana istilah baitullah (rumah Allah) bagi mesjid atau lebih khusus Ka’bah dan naqatullah
(unta Allah) istilah bagi unta nabi Sholeh ‘alaihis salam dan lain sebagainya.
Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iraqy rahimahulloh menjelaskan, “Apa hikmah dari penamaan
Muharram sebagai syahrulloh (bulan Allah) sementara seluruh bulan milik Allah ?
Mungkin dijawab bahwa hal itu dikarenakan bulan Muharram termasuk diantara
bulan-bulan haram yang Allah haramkan padanya berperang, disamping itu bulan
Muharram adalah bulan perdana dalam setahun maka disandarkan padanya lafzhul
Jalalah (lafazh Allah) sebagai bentuk pengkhususan baginya dan tidak ada bulan
lain yang Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam sandarkan kepadanya lafzhul
Jalalah melainkan bulan Muharram” (lihat Hasyiah As Suyuthi ‘ala Sunan An
Nasaai)
Amalan Yang Dianjurkan di Bulan Muharram
Sebagaimana telah disebutkan di atas dari perkataan Qatadah rahimahulloh
bahwa amalan sholeh dilipatgandakan pahalanya di bulan-bulan haram, dengan
demikian secara umum segala jenis kebaikan dianjurkan untuk diperbanyak dan
ditingkatkan kualitasnya di bulan Muharram. Adapun ibadah yang dianjurkan
secara khusus pada bulan ini adalah memperbanyak puasa sunnah sebagaimana
yang telah disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
radhiyallohu ‘anhu, beliau berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam
bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ
شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ
صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah
(yaitu) Muharram dan shalat yang paling utama setelah puasa wajib adalah sholat
lail”
[ HR. Muslim(11630) ]
Mulla Al Qari’ menyebutkan bahwa hadits di atas sebagai dalil anjuran
berpuasa di seluruh hari bulan Muharram. Namun ada satu masalah yang kadang
ditanyakan berkaitan dengan hadits ini yaitu, ‘Bagaimana memadukan antara
hadits ini dengan hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallohu alaihi
wasallam memperbanyak puasa di bulan Sya’ban bukan di bulan Muharram? Imam
Nawawi rahimahullah telah menjawab pertanyaan ini, beliau mengatakan
boleh jadi Rasulullah shallallohu alaihi wasallam belum mengetahui
keutamaan puasa Muharram kecuali di akhir hayat beliau atau mungkin ada saja
beberapa udzur yang menghalangi beliau untuk memperbanyak berpuasa di bulan
Muharram seperti beliau mengadakan safar atau sakit. [Lihat Al Minhaj Syarah
Shohih Muslim bin Hajjaj]
Kemudian anjuran berpuasa di bulan Muharram ini lebih dikhususkan dan
ditekankan hukumnya pada hari yang dikenal dengan istilah Yaumul 'Asyuro,
yaitu pada tanggal sepuluh bulan ini. ‘Asyuro berasal dari kata ‘Asyarah yang
berarti sepuluh. Pada hari ‘Asyuro ini, Rasulullah shallahu alaihi wasallam
mengajarkan kepada umatnya untuk melaksanakan satu bentuk ibadah dan ketundukan
kepada Allah Ta’ala yaitu ibadah puasa, yang kita kenal dengan puasa Asyuro.
Hadits-Hadits Disyariatkannya Puasa ‘Asyuro
Adapun hadis-hadis yang menjadi dasar ibadah puasa tersebut banyak, kami
akan sebutkan diantaranya dengan pengklasifikasian sebagai berikut:
1. Kaum Yahudi juga berpuasa di hari Asyuro bahkan menjadikannya sebagai Ied
(hari raya)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا
قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي
إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى
مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata : Ketika Rasulullah shallallohu
alaihi wasallam. tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa
pada hari ‘ Asyura, maka Beliau bertanya : "Hari apa ini?. Mereka
menjawab, “Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan
Bani Israil dari musuhnya, Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini.
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda, "Aku lebih
berhak terhadap Musa daripada kalian“
Maka beliau berpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa. [ H.R.
Bukhari (1865) dan Muslim(1910) ]
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ
وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صُومُوهُ أَنْتُمْ
Dari Abu Musa radhiyallohu anhu berkata, “Hari ‘Asyuro adalah hari yang
diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda (kepada ummatnya), “Berpuasalah
kalian (pada hari itu)” [HR. Bukhari (1866) dan Muslim(1912), lafal
hadits ini menurut periwayatan imam Muslim)
2. Kaum Quraiys di zaman Jahiliyah juga berpuasa Asyuro
dan puasa ini diwajibkan atas kaum muslimin sebelum kewajiban puasa Ramadhan
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا
قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ
تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ . متفق
عليه.
Dari Aisyah radhiyallohu anha berkata, Kaum Qurays pada masa Jahiliyyah
juga berpuasa di hari ‘Asyuro dan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam juga
berpuasa pada hari itu, ketika beliau telah tiba di Medinah maka beliau tetap
mengerjakannya dan memerintahkan ummatnya untuk berpuasa. Setelah puasa
Ramadhan telah diwajibkan beliau pun meninggalkan (kewajiban) puasa ‘Asyuro,
seraya bersabda, “Barangsiapa yang ingin berpuasa maka silakan tetap
berpuasa dan barangsiapa yang tidak ingin berpuasa maka tidak mengapa” [
HR. Bukhari (1863) dan Muslim(1897) ]
عن عَبْد اللَّهِ بْن عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَامَهُ وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ يُفْتَرَضَ رَمَضَانُ فَلَمَّا افْتُرِضَ
رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ
تَرَكَهُ (رواه مسلم)
Dari Abdullah bin Umar radhiyallohu anhuma bahwa kaum Jahiliyah dulu
berpuasa Asyuro dan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam serta kaum muslimin
juga berpuasa sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam bersabda, “Sesungguhnya hari ‘Asyuro termasuk hari-hari Allah,
barangsiapa ingin maka berpuasalah dan siapa yang ingin meninggalkan maka boleh”
[ HR. Muslim(1901) ]
3. Perhatian Rasulullah shallallohu
alaihi wa sallam dan para sahabat ridwanullohi alaihim ajmain yang begitu besar
terhadap puasa ‘Asyuro
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ
يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ
"Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam,
berupaya keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada
hari ini, yaitu hari ‘Asyura dan bulan ini
yaitu Ramadhan.” [ H.R. Bukhari
(1867) dan Muslim(1914) ]
عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ
بْنِ عَفْرَاءَ قَالَتْ أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ الَّتِي حَوْلَ
الْمَدِينَةِ مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ وَمَنْ كَانَ
أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ فَكُنَّا بَعْدَ ذَلِكَ
نَصُومُهُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَنَجْعَلُ لَهُمْ اللُّعْبَةَ مِنْ الْعِهْنِ
فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ
الْإِفْطَارِ
Dari Rubai’ bintu Mu’awwidz bin
‘Afra’ radhiyallohu ‘anha berkata, Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam di
pagi hari Asyuro mengutus ke perkampungan kaum Anshar yang berada di sekitar
Medinah (pesan), “Barangsiapa yang tidak berpuasa hari itu hendaknya
menyempurnakan sisa waktu di hari itu dengan berpuasa dan barangsiapa yang
berpuasa maka hendaknya melanjutkan puasanya”. Rubai’ berkata, “Maka sejak
itu kami berpuasa pada hari ‘Asyuro dan menyuruh anak-anak kami berpuasa dan
kami buatkan untuk mereka permainan yang terbuat dari kapas lalu jika salah
seorang dari mereka menangis karena ingin makan maka kami berikan
kepadanya permainan tersebut hingga masuk waktu berbuka puasa” [ HR. Bukhari
(1960) dan Muslim (1136), redaksi hadits ini menurut periwayatan Imam Muslim ]
4. Keutamaan puasa Asyuro
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي الله عنه
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صِيَامُ يَوْمِ
عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي
قَبْلَهُ
Dari Abu Qatadah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi
wasallam bersabda, “Puasa hari ‘Asyuro aku berharap kepada Allah akan
menghapuskan dosa tahun lalu” [ HR. Tirmidzi (753), Ibnu Majah (1738)
dan Ahmad(22024). Hadits semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam kitab Shohih beliau (1162) ]
5. Bagi yang ingin
berpuasa ‘Asyuro hendaknya berpuasa juga sehari sebelumnya
Ibnu Abbas radhiyallohu ‘anhuma berkata :
Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan
memerintahkan kaum muslimin berpuasa, mereka (para shahabat) menyampaikan,
"Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani". Maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam
pun bersabda
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ
إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ
الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
:"Jika tahun depan insya Allah (kita bertemu kembali dengan
bulan Muharram), kita akan berpuasa juga pada hari kesembilan (tanggal sembilan).“
Akan tetapi belum tiba Muharram tahun depan hingga Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam wafat di tahun tersebut [ HR. Muslim (1134) ]
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ
صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ
Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma beliau berkata, “Berpuasalah pada tanggal
sembilan dan sepuluh Muharram, berbedalah dengan orang Yahudi”
[
Diriwayatkan dengan sanad yang shohih oleh Baihaqi di As Sunan Al Kubro (8665)
dan Ath Thobari di Tahdzib Al Aatsaar(1110)]
6. Hukum Berpuasa Sehari Sesudah ‘Asyuro (tanggal 11 Muharram)
Imam Ibnu Qoyyim dalam kitab Zaadul Ma’aad setelah merinci dan menjelaskan
riwayat-riwayat seputar puasa ‘Asyuro, beliau menyimpulkan :
Ada tiga tingkatan berpuasa ‘Asyuro: Urutan pertama; dan ini yang paling
sempurna adalah puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal sepuluh ditambah sehari
sebelum dan sesudahnya (9,10,11). Urutan kedua; puasa tanggal 9 dan 10.
Inilah yang disebutkan dalam banyak hadits . Urutan ketiga, puasa
tanggal 10 saja. (Zaadul Ma’aad 2/63)
Kesimpulan Ibnul Qayyim di atas didasari dengan sebuah hadits dari Ibnu
Abbas radhiyallohu anhuma, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. bersabda :
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ
وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا
"Puasalah pada hari Asyuro, dan berbedalah dengan Yahudi dalam masalah
ini, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ [HR. Imam
Ahmad(2047), Ibnu Khuzaimah(2095) dan Baihaqi (8667)]
Namun hadits ini sanadnya lemah, Asy Syaikh Al Albani rahimahulloh menyatakan,
“Hadits ini sanadnya lemah karena salah seorang perowinya yang bernama Muhammad
bin Abdurrahman bin Abi Laila jelek hafalannya, selain itu riwayatnya
menyelisihi riwayat ‘Atho bin Abi Rabah dan selainnya yang juga meriwayatkan
dengan sanad yang shohih bahwa ini adalah perkataan Ibnu Abbas
radhiyallohu anhuma sebagaimana yang disebutkan oleh Thahawi dan Baihaqi [Ta’liq
Shohih Ibn Khuzaimah (3/290)]
Namun demikian puasa sebanyak tiga hari (9,10,dan 11 Muharram) dikuatkan oleh para
ulama dengan dua alasan :
1. Sebagai kehati-hatian, yaitu
kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat,maka puasa tanggal sebelasnya
akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan puasa Tasu’a (tanggal 9) dan
Asyuro (tanggal 10)
2. Dimasukkan dalam puasa tiga hari pertengahan bulan (Ayyamul bidh).
Adapun puasa tanggal 9 dan 10, pensyariatannya dinyatakan dalam hadis
yang shahih, dimana Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pada akhir
hidup beliau sudah merencanakan untuk puasa pada tanggal 9, hanya saja beliau
wafat sebelum melaksanakannya. Beliau
juga telah memerintahkan para shahabat untuk berpuasa pada tanggal 9
dan tanggal 10 agar berbeda dengan ibadah orang-orang Yahudi.
Sedangkan puasa
pada tanggal sepuluh saja; sebagian ulama memakruhkannya, meskipun sebagian
ulama yang lain memandang tidak mengapa jika hanya berpuasa ‘Asyuro (tanggal
10) saja,wallohu a’lam.
Secara umum, hadits-hadis yang terkait dengan puasa Muharram menunjukkan
anjuran Rasulullah shallallohu alaihi wasallam untuk melakukan puasa,sekalipun
hukumnya tidak wajib tetapi sunnah muakkadah(sangat dianjurkan), dan tentunya
kita sepatutnya berusaha untuk menghidupkan sunnah yang telah banyak dilalaikan
oleh kaum muslimin.
Beberapa Pelanggaran dan Bid’ah Yang
Sering Terjadi di Bulan Muharram
1. Pada awal
Muharram, yang kadang dikenal dengan istilah 1 Suro, di tanah air sering
diadakan acara ritual dan adat yang beraneka macam bahkan tidak jarang mengarah
bahkan telah terjatuh pada kesyirikan, seperti meminta berkah pada benda-benda
yang dianggap keramat dan sakti, membuang sesajian ke laut agar Sang Dewi
penjaga laut tidak marah dan lain sebagainya. Sebagian lagi dari kaum muslimin
menjadikan bulan Muharram sebagai bulan yang keramat dan sakral, sehingga
menurut keyakinan mereka tidak boleh mengadakan hajatan besar di bulan tersebut
seperti pernikahan, membangun rumah dan lain-lain. Di sisi lain ada juga di
kalangan kaum muslimin menjadikan hari ‘Asyuro seperti layaknya hari lebaran,
dimana mereka memperbanyak belanja dapur pada hari tersebut seakan-akan
mengadakan pesta atau berhari raya. Sehingga di hari itu dikenal berbagai macam
model makanan yang dinamakan secara khusus dengan ‘Asyuro seperti bubur
‘Asyuro. Perbuatan mereka ini didasari hadits
yang diriwayatkan:
مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ في
يَوْمِ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ الله عَلَيْهِ في سَنَتِهِ كُلِّهَا
“Barangsiapa yang melapangkan
(nafkah) kepada keluarganya pada hari ‘Asyura, niscaya Allah akan melapangkan
(rizkinya) selama setahun itu”
[
HR. Thobrani(10007) dan Baihaqi di kitab Syu’abul Iman (3792) ]
Hadits ini telah dilemahkan
oleh banyak ulama hadits, bahkan ada yang menghukuminya sebagai hadits palsu.
Imam Ahmad mengatakan bahwa hadits ini tidak memiliki asal, silakan lihat kitab
Al Maudhu’at oleh ibnul Jauzi, Ahadits Al Qushshash oleh Ibnu Taimiyah dan Al
Fawaid Al Majmu’ah oleh Syaukani
Hal-hal yang telah disebutkan di atas dari
kemungkaran-kemungkaran yang biasda terjadi di bulan Muharram harus dihindari
oleh setiap muslim dimanapun mereka berada
karena
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah mengajarkan pada kita agar memiliki jati diri sebagai
seorang Muslim dalam kehidupan. Jangan sampai seorang muslim mudah terbawa oleh
budaya atau ritual agama lain dalam menjalankan ibadah pada Allah ‘Azza wa
Jalla. Ajaran yang dibawa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah jelas dan sempurna tidak layak bagi kita untuk
menambah atau menguranginya.
Karena sebaik-baik pedoman adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk beliau, yang tidak ada keselamatan kecuali dengan berpegang kepada
keduanya dengan mengikuti pemahaman para sahabat, tabi'in dan penerus mereka
yang setia berpegang kepada sunnahnya dan meniti jalannya, adapun hal-hal baru
dalam masalah agama adalah sesat sedangkan kesesatan itu akan menghantarkan ke
neraka, wal'iyadzubillah.
2. Pada tanggal 10 Muharram 61 H,
terjadilah tragedi berdarah yang memilukan dalam sejarah Islam, yaitu
terbunuhnya Husein radhiyallohu anhu cucu Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam di sebuah tempat yang bernama Karbala. Peristiwa ini kemudian
dikenal dengan “Peristiwa Karbala”. Pembunuhan tersebut dilakukan oleh
pendukung Khalifah yang sedang berkuasa pada saat itu yaitu Yazid bin
Mu’awiyah, meskipun sebenarnya Khalifah sendiri saat itu tidak menghendaki
pembunuhan tersebut.
Karena peristiwa berdarah ini maka kaum Syi’ah yang mengklaim diri mereka
sebagai pengikut ahlul bait menjadikan ‘Asyura sebagai hari berkabung, duka
cita dan menyiksa diri sebagai ungkapan dari kesedihan dan penyesalan. Pada
setiap ‘Asyura kaum Syi’ah di seluruh dunia termasuk di negeri kita
memperingati kematian Husein radhiyallohu ‘anhu dengan melakukan
perbuatan-perbuatan tercela seperti berkumpul, menangis, meratapi Husein
secara secara histeris, memukuli tubuh dan wajah mereka, bahkan ada yang
sampai tega melukai diri dan anak-anak kecil dengan senjata tajam pada hari
tersebut.
Peristiwa wafatnya Husain radhiyallohu anhu memang sangat tragis dan memilukan
bagi siapa saja yang mengenang atau membaca kisahnya, dan kita tentu
mencintai keluarga Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, apalagi
terhadap orang yang sangat dicintai oleh Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam. Namun musibah apapun yang terjadi dan betapapun kita sangat , hal itu
jangan sampai membawa kita larut dalam kesedihan dan melakukan
kegiatan-kegiatan sebagai bentuk duka dengan yang memukul-mukul diri,
menangis apalagi sampai mencela shahabat Rasulullah yang tidak termasuk
Ahli Bait (keluarga dan keturunan beliau). Yang mana hal ini biasa dilakukan
suatu kelompok Syi'ah yang mengaku memiliki kecintaan yang sangat tinggi
terhadap Ahli Bait (Keluarga Rasulullah), pdahal kenyataanya tidak demikian.
Meratapi musibah kematian diharamkan, siapapun yang meninggal dunia bahkan
kepada Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun kita dilarang memperingati
dan meratapi wafat beliau. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda,
أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ
الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي
الْأَنْسَابِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ وَقَالَ
النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Ada empat perkara yang terdapat pada ummatku termasuk, termasuk perbuatan
kaum Jahiliyyah yang belum mereka tinggalkan: Menyombongkan kebangsawanan,
mencela nasab, meminta hujan dengan bintang-bintang dan meratap”. Beliau
berkata, “Orang yang meratapi kematian jika dia belum taubat sebelum
meninggal dunia maka akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan berpakaian hitam
yang terbuat dari ter dan baju besi yang berkudis” (HR. Muslim(1550)
dari sahabat Abu Malik Al Asy’ari radhiyallohu anhu)
Khatimah
Inilah pembahan ringkas dan
sederhana berkaitan dengan bulan suci nan agung Muharram, semoga kita selalu
diberi taufiq dan dibimbing oleh Allah subhanahu wata’ala ke jalan-Nya yang
lurus serta mendapatkan keridhaan dan ampunan-Nya, dan dimudahkan dalam
menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallohu alaihi wasallam di segala
tempat dan di sepanjang waktu serta dijauhkan dari segala bid’ah dan hal-hal
yang bertentangan dengan syariat yang suci ini, amin ya rabbal 'alamin.