Selasa, 09 Juli 2013

Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa dan Mengurangi pahala di Bulan Ramadhan

Apa sajakah hal-hal yang membatalkan puasa? Lalu, apakah marah membuat puasa sia-sia? Dua pertanyaan ringan inilah yang sering menggelitik hati, menjelang bulan Ramadhan; yang insya Allah akan tiba pada esok hari, Sabtu, 21 Juli 2012.
Secara bahasa, puasa (shaum) berarti menahan diri dari segala sesuatu. Menurut istilah, puasa bermakna  menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan selama sehari penuh sejak fajar hingga terbenam matahari. Adapun hal-hal yang membatalkannya adalah sebagai berikut.

1) Makan dan Minum
Makan dan minum sejak subuh hingga maghrib, membatalkan puasa. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah:187, ” … dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”.
Namun, apabila seseorang tidak sengaja menyantap makanan karena lupa, puasa tersebut tetap tidak batal. Ia berhak merampungkan puasanya tersebut. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa lupa bahwa ia tengah berpuasa, kemudian makan atau minum, hendaklah ia tetap menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
2) Muntah dengan Sengaja
Seseorang yang muntah karena tidak sengaja, berhak melanjutkan puasanya. Sebaliknya, mereka yang menyengaja untuk muntah, puasanya batal. Ia wajib mengganti puasanya tersebut di kemudian hari.
Sabda Nabi, “Barangsiapa terpaksa muntah, tidak wajib mengganti (mengqadha) puasanya; dan barangsiapa yang menyengaja muntahnya, maka hendaklah ia mengganti puasanya.” (H.R. Abu Daud)
3) Tengah Haid atau Nifas
Bagi perempuan, terdapat keringanan dalam menjalankan puasa. Mereka yang haid, diperbolehkan untuk mengganti puasanya di lain hari. Demikian pula wanita yang mengeluarkan darah nifas (darah setelah melahirkan).
Diriwayatkan dari Aisyah, “Kami diperintakan oleh Rasulullah saw. untuk mengganti puasa, dan tidak diperintahkan untuk mengganti sembahyang (yang tidak dilakukan ketika seseorang haid) (H.R. Bukhari)
4) Melakukan Hubungan Suami-Istri
Puasa sejatinya menahan segala bentuk keinginan tubuh manusia. Selain hasrat untuk makan dan minum, ada hasrat dasar lain yang harus ditekan, yaitu hasrat seksual. Firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah:187, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istrimu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. …”
Mereka yang tidak dapat membendung nafsu seksualnya, diwajibkan untuk membayar kifarat, yaitu berurutan: 1) memerdekakan budak, 2) (jika tidak mampu, maka) puasa dua bulan berturut-turut, 3) (jika tidak mampu, maka) bersedekah yang mengenyangkan 60 fakir miskin, dengan ketentuan 3/4 liter per orang.
Ada yang bilang bulan Ramadhan adalah bulan untuk mencari jodoh, karena sebagian para remaja cowok dan cewek mengambil kesempatan pada saat terawih untuk bisa melirik-lirik cewek/cowok, dan pada akhirnya diajak berkenalan, hehe.. Namun ada juga anggapan orang yang bilang bulan Ramadhan adalah bulan untuk mengais rezeki. Sebab banyak para pedagang makanan tradisional berjualan di pasar ramadhan atau dipinggiran jalan raya, padahal sebelumnya tidak pernah berjualan pada bulan-bulan sebelumnya.
Namun, hal diatas hanyalah bahasan pembuka pada temaku hari ini. Dimana pembahasan sebenarnya tentang hal-hal apa saja yang dapat mengurangi pahala puasa. Tak usah panjang lebar lagi, yuk mari kita lihat sekarang juga :
1. Berbohong/berdusta
Ngakunya berpuasa, tapi selalu berkata bohong pada semua orang. Misalnya yang terjadi pada kisah seorang suami yang selalu berbohong kepada sang istri. Kasusnya adalah si istri selalu menanyakan sisa uang setoran kepada suaminya yang kerja sebagai supir angkot. Namun setiap si istri meminta sisa uang setorannya untuk membeli belanja harian, jawaban sang suami pasti tidak ada. Dengan alasan kondisi penumpang hari ini sangat sepi, jadi hanya cukup untuk uang setoran saja. Padahal ini bulan Ramadhan, tapi sang suami harus berbohong.
2. Menggunjing atau membicarakan orang
Banyak ibu-ibu majelis ta’lim saat ini, menghadiri acara pengajian di mesjid tidak memanfaatkan dengan baik. Seperti berkumpul dalam satu kelompok bersama majelis ta’lim lainnya, membicarakan ibu satu ke ibu lainnya. Padahal dalam acara pengajian rutin yang diadakan setiap minggunya pada bulan Ramadhan. Alangkah baiknya bila ingin membicarakan orang ditahan dulu hingga waktu berbuka tiba. Sebab, apabila itu tetap dilakukan, pahala puasa seseorang yang sedang menggunjing orang itu akan berkurang.

3. Mengadu domba antar sesama
Dalam hukum islam perbuatan adu domba itu terhadap sesama umat islam adalah hal yang paling dibenci oleh Allah SWT. Apalagi hal tersebut dengan sengaja dilakukan hanya untuk merusak iman kedua umatnya. Dan parahnya lagi itu dilakukan pada saat bulan Ramadhan, bulan penuh ampunan, bulan yang penuh berkah. Jadi sayang sekali bukan, bulan yang penuh dengan berbagai pahala ini harus ternoda dengan hal yang seharusnya tidak mesti dilakukan, seperti mengadu domba.
4. Sumpah palsu
Sahabat kompasianer pasti pernah menemukan suatu pristiwa mengenai sumpah palsu, entah itu terjadi disekeliling kehidupan kita ataupun melihat disiaran televisi. Perbuatan tersebut paling sering dilakukan hanya untuk meyakinkan seseorang itu. Misalnya ada seorang pemuda di suatu perkampungan, ketahuan mengambil mangga oleh seorang warga di perkebunan kepunyaan tetangganya. Namun si pemuda membantahnya bahwa ia telah mencurinya, si pemuda lalu menjelaskan bahwa ia sudah terlebih dahulu meminta ijin kepada pemiliknya. Karena warga yang mengetahui perbuatan itu tidak mempercayainya semudah itu. Ia pun rela mengucapkan sumpah palsu dengan membawa nama Allah SWT, guna untuk membuat warga itu percaya. Begitulah sedikit ilustrasi tentang sumpah palsu.

5. Melihat dengan syahwat
Untuk yang terakhir ini sahabat blogger pasti telah banyak mengetahuinya bukan, mengenai melihat lawan jenisnya dengan syahwat. Saya akan berikan kembali ilustrasinya kepada sahabat kompasianer, ada salah seorang remaja yang ingin berbelanja ta’jil dipasar Ramadhan, namun disela ia mencari ta’jil yang enak untuk berbuka puasa. Si remaja itu tidak sengaja melihat seorang remaja putri yang ingin membeli ta’jil juga dengan mengenakan pakaian yang ketat dan dapat membangkitkan gairah si remaja tersebut. Sehingga si remaja yang tidak memiliki iman yang kuat itu, malah keterusan melihatnya menjadi sengaja. Begitulah ilustrasinya, mengenai melihat dengan syahwat.

Puasa ,Bulan Ramadhan dan Nuzulul Qur'an

Puasa pada hakikatnya adalah riyadah dan mujahadah (upaya latihan dan perjuangan dan terapi penahanan nafs diri atau jiwa) dari ketidakseimbangan pendayagunaan tiga potensi, yaitu akal, kemarahan, dan syahwat. Akal yang tidak didayagunakan secara baik akan melahirkan manusia yang sombong dan durhaka, kemarahan yang tidak digunakan dengan baik akan membawa manusia kesembronoan tindakan, dan syahwat yang tidak terkendali akan membawa manusia pada pemuasan nafsu kebinatangan. Keseimbangan potensi akal, marah, dan syahwat akan membawa manusia pada keutamaan jiwa atau empat kebajikan utama yang meliputi kebijaksanaan, keberanian, keterjagaan diri dan moderasi ketiga potensi itu akhirnya membawa pada keadilan sikap. Manusia yang memiliki keempat sifat ini dinyatakan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Mizan al-‘Amal sebagai orang yang berakhlak baik, dan pada gilirannya akan membawanya pada kebahagiaan.
Apakah kemudian keutamaan akhlak yang membawa kebahagiaan ini dengan mudahnya dapat dicapai oleh seorang muslim yang berpuasa? Jika ia berpuasa dengan baik, dalam pengertian manusia benar-benar menghayati terapi pembiasaan, pelatihan dan penahanan diri ini, niscaya jawabannya adalah “iya”, insya Allah.
Kebahagiaan merupakan tuntutan dan tujuan manusia dari sejak dahulu hingga akhir zaman. Kebahagiaan dengan demikian adalah capaian yang niscaya. Namun kenyataannya, sebagian manusia hanya mengejar kebahagiaan atau kenikmatan jasad yang meliputi kesehatan, kekuatan, keelokan, dan panjang umur, kebahagiaan eksternal yang meliputi harta, keluarga, kemuliaan dan kehormatan keturunan, namun melupakan kebahagiaan akhirat, dan kenikmatan  taufik Allah. Disangkanya kesempurnaan,  keterpenuhan hasrat perut, dan seksualitas adalah tujuan dan puncak kebahagiaan. Padahal, ketika manusia lupa pada tujuan penciptaannya, maka hakikatnya pada saat itu ia tidak berbeda dengan binatang ternak yang dikuasai dorongan-dorongan biologisnya.
Puncak kebahagiaan dunia adalah kemuliaan, kedudukan, kekuasaan, dan keterlepasan dari kesedihan dan kegundahan, dan senantiasa dalam kesenangan dan kegembiraan. Sementara itu kebahagiaan akhirat sebagai kebahagiaan puncak adalah keterlepasan dari kesedihan dan kegundahan, dan senantiasa dalam kesenangan dan kegembiraan untuk selama-lamanya. Namun untuk mencapai kesemuanya pun menurut Al-Ghazali harus pula dengan ilmu dan ‘aktifitas’ amal.
Dihubungkan dengan kebahagiaan puncak, maka empat kebajikan utama yang berasal dari moderasi diri atau kebahagiaan jiwa merupakan prasyarat utama menuju kebahagiaan puncak tersebut. Karena subjek utama kebahagiaan itu adalah jiwa. Sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad sebagai berikut. Dari Nu’man ibn Basyir berkata : saya mendengar Rasulullah bersabda yang artinya: “Ingatlah bahwa sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, ketika ia baik, baik pula seluruh jasad itu, dan ketika rusak, rusak pula seluruh jasad itu, ingatlah ia adalah hati (H.R. al-Bukhari).
Mencapai kebahagiaan mutlak menghajatkan penyempurnaan jiwa dan hal itu meniscayakan untuk mengetahui keutamaan-keutamaan jiwa.  Dinyatakan oleh Mahmud Zaqzuq bahwa keutamaan itu adalah kesiapan terus menerus untuk mengerjakan kebaikan.
Menurut al-Ghazali, dalam Mizan al-‘Amal, kebahagiaan itu dapat dicapai dengan mensucikan jiwa serta menyempurnakannya dengan riyadah, mujahadah dan tabattul (beribadah menghadap penuh pada Allah) dengan cara mencapai keutamaan-keutamaan jiwa. Keutamaan jiwa ini dalam pandangan Al-Ghazali juga termasuk pokok-pokok agama atau ushul al-din.
Yang dimaksudkan al-Ghazali sebagai amal yang membawa kebahagiaan tidak lain adalah latihan atau riyadah memerangi syahwat diri. Dengan meminimalkan godaan shahwat itu juga akan meminimalkan  sebab-sebab atau faktor kegundahan. Dan memang tidak ada jalan untuk melenyapkan hal itu, kecuali dengan riyadah atau mujahadah (latihan dan perjuangan). Kesemuanya ini disebut ‘amal’ yang mengantarkan pada kebahagiaan. Al-Ghazali menyatakan:
Adapun yang dimaksud dengan ‘amal’ tidak lain adalah melatih syahwat nafsaniyah, memperbaiki atau memenjarakan  kemarahan dan memotong sifat- sifat ini, sehingga tunduk pada akal dan tidak dapat menguasai akal itu, juga menundukkannya untuk memenuhi kehendak. Barangsiapa yang mampu menundukan syahwat, maka dialah manusia merdeka sejati, bahkan pemilik atau raja. Meminimalkan shahwat berarti juga meminimalkan sebab- sebab atau sarana kegelisahan kesedihan dan tidak ada jalan untuk memalingkan syahwat kecuali dengan riyadah dan mujahadah (inilah yang disebut ‘amal).
Dalam halaman lain al-Ghazali menyatakan bahwa yang dimaksud dengan amal itu adalah memecah syahwat dengan cara memalingkan kekeruhan jiwa menuju dimensi vertikal, agar terhapus dari pengaruh jiwa kotor, hubungan rendah yang terkait dengan dimensi rendah.
Amal dapat pula dimaknakan dan dikaitkan atau dikembalikan  dengan mujahadat al-nafs dengan menghilangkan sesuatu yang tidak sepatutnya. Tentang arti mujahadah dikatakan oleh al-Ghazali bahwa ia adalah mengobati jiwa dengan cara mensucikannya untuk memperoleh kebahagiaan.
Hal tersebut sesuai dengan Al-Qur’an surat Al-Syams ayat 9-10 yang mendeskripsikan keberuntungan manusia yang mensucikan jiwanya, dan kerugian manusia yang mengotori jiwanya (Qad Aflaha Man Zakkaha wa Qad Khaba Man Dassaha).
Dalam amatan al-Ghazali ada tiga kategori manusia dalam memerangi hawa nafsu. Pertama manusia yang dikalahkan dan dikuasai hawa nafsunya. Kedua,  terjadi pertarungan antara jiwa dengan nafsu silih berganti, kadang nafsu menguasai dan kadang dikuasai. Ketiga, dapat mengalahkan dan menguasai hawa nafsu laksana raja. Hendaknya manusia jenis pertama dapat mencapai derajat kedua, dan derajat kedua dapat mencapai derajat ketiga.
Al-Ghazali kemudian menyangkal dugaan sementara manusia yang menyatakan bahwa akhlak itu tidak dapat diubah. Al-Ghazali berargumentasi bahwa seandainya akhlak itu tidak dapat diubah, niscaya kita tidak akan diperintahkan untuk memperbagus akhlak kita, sebagaimana sabda Nabi Muhammad, “Hassinu Akhlaqakum” dan akan sia-sia aneka wasiat nasehat motivasi berbuat baik dan teguran. Bukankah hewan pun dapat dididik menjadi lebih baik.
Menurut Al-Ghazali segala yang diciptakan Allah itu tidak lepas dari dua kemungkinan. Pertama, tidak dapat diubah dengan perbuatan atau usaha manusia, seperti langit, bintang,dan  anggota badan kita. Kedua, ciptaan Allah yang menerima kesempurnaan  setelah ditemukan syarat-syarat pendidikan dengan memaksimalkan ikhtiar. Proses demikian dapat diamati misalnya dari biji kurma yang berubah menjadi pohon kurma dengan pemeliharaan. Konteks puasa sebagai upaya penundukan nafsu ammarah (kemarahan dan syahwat) adalah dalam rangka perbaikan atau pendidikan akhlak ini.
Memang melepaskan akhlak tercela yaitu syahwat dan amarah (ghadab) tidak akan tercapai seketika. Namun jika manusia berkehendak mengendalikan dan memaksa syahwat dan ghadab itu dengan mujahadah dan riyadah yang tujuannya adalah untuk menyempurnakan jiwa dan juga membersihkannya, niscaya manusia akan  mampu.
Nah, semoga dengan puasa yang kita jalankan selama sebulan di tiap tahun ini, kita dapat memaknai pendidikan riyadah dan mujahadah ini dengan lebih baik, sehingga dapat mengantarkan kita pada kebahagian jiwa yang pada gilirannya nanti membawa pada kebahagiaan akhirat. Amin.

Bulan Ramadhan adalah bulan yang paling mulia bila dibandingkan dengan bulan yang lain. Karena di dalam bulan Ramadhan ada Lailatul Qadar, segala dosa umat manusia diampuni dan segala amal perbuatan kebaikan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah Swt. dan di dalam bulan Ramadlan al-Qur’an pertama kali di turunkan. Peristiwa tersebut tidak pernah ada pada selain bulan Ramadhan. Selain kitab al-Qur’an Allah juga menurunkan kitab-kitab samawi yang lain seperti kitab Taurot, Zabur dan Injil. Hanya saja hukum syariat Islam yang tertuang di dalam masing-masing kitab tersebut satu sama lain tidak sama tetapi dalam masalah ketauhidan (ketuhanan) semua kitab sama yakni sama-sama mengajarkan kepada umat manusia agar menyembah dan meng-Esa-kan Allah SWT.Al-Qur’an adalah mukjizat nabi Muhammad Saw yang paling agung bila dibandingkan dengan Mukjizat-mukjizat yang lain yang dimiliki oleh beliau Nabi dan atau bila dibanding dengan mukjizat-mukjizat lain yang dimiliki oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad. Adalah wajar jika sampai saat ini bahkan sampai hari kiamat nanti keaslian al-Qur’an masih tetap terjaga. Karena mustahil tidak ada satu orangpun di dunia ini yang dapat memalsukan/merubah ayat-ayat al-Qur’an apalagi mampu menyaingi keindahan kalam-kalam al-Qur’an. Seorang orientalis Barat yang bernama H.A.R Gibb pernah mengatakan bahwa “ Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini yang telah memainkan alat bernada nyaring yang sedemikian nyaring dan indah serta sedemikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang di baca Muhammad (al-Qur’an)”. Itulah barangkali salah satu bukti keagungan al-Qur’an.Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar yang diberikan Allah Swt kepada nabi Muhammad Saw. 14 abad yang silam. al-Qur’an memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh mukjizat yang lain yang hanya bisa dinikmati dan disaksikan pada zamannya saja. Sejak pertama kali diturunkan al-Qur’an telah mampu merubah arah dan paradigma peradaban ummat manusia dari kesesatan menuju kebenaran dan kebahagian dunia maupun akhirat. Hal ini merupakan salah satu pengaruh ajaran dan ilmu pengetahuan yang terkandung dalam al-Qur’an.Al-Qur’an pertama kali diturunkan pada malam Lailatul Qadar tanggal, 17 Ramadhan tepatnya saat beliau Nabi Muhammad Saw berusia 40 tahun. al-Qur’an diturunkan ke bumi tidak sama dengan kitab-kitab sebelumnya yang diturunkan hanya satu kali langsung selesai. Tetapi al-Qur’an diturunkan dengan cara berangsur-angsur atau sedikit demi sedikit (bertahap) sesuai dengan kebutuhan atau sesuai dengan permasalah yang terjadi saat itu untuk memberikan jawaban atas permasalah yang dihadapi para Sahabat nabi kala itu.Al-Qur’an diturunkan (Nuzulul Qur’an) membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Apa hikmahnya? Adalah untuk menguatkan rasa cinta hati nabi Muhammad dan para sahabat nabi agar selalu merasa senang setiap kali turunnya ayat al-Qur’an. Disamping itu, al-Qur’an diturunkan dengan cara berangsur-angsur agar supaya para sahabat lebih mudah menghafalkan ayat-ayat al-Qur’an yang telah diturunkan lebih dahulu.al-Qur’an diturunkan ada kalanya yang mempunyai sebab (Asbab an-Nuzul) seperti ayat al-Qur’an yang diturunkan untuk menjawab sebuah pertanyaan dari permasalah yang dihadapi para sahabat Nabi kala itu,ataupun pertanyaan yang disampaikan oleh orang-orang kafir. Namun ada juga ayat al-Qur’an yang diturunkan tetapi tidak mempunyai Asbab an-Nuzul seperti ayat al-Qur’an yang diturunkan untuk menceritakan umat-umat Nabi terdahulu atau menjelaskan tentang perkara-perkara gaib yang akan terjadi di hari nanti. Seperti ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang surga atau neraka, ataupun ayat al-Qur’an yang menggambarkan tentang kejadian hari kiamat nanti, ayat-ayat al-Qur’an yang seperti itu diturunkan tidak mempunyai \Asbab an-Nuzul. Ayat al-Qur’an seperti itu, diturunkan oleh Allah dimaksudkan untuk memberikan hidayah kepada umat manusia agar mau mengambil hikmah dari semua kejadian yang diceritakan oleh al-Qur’an terutama ayat al-Qur’an yang menceritakan tentang adzab, musibah dan bencana dari Allah yang diturunkan kepada ummat-ummat terdahulu yang merupakan akibat dari perbuatan dosa yang telah mereka lakukan. Sehingga kita semua mau kembali ke jalan yang benar yang diridhoi oleh Allah Swt untuk tidak melakukan dosa dan maksiat kepada Allah Swt.Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Swt. sebanyak 30 juz, 114 surah, 6.236 ayat. Isi kandungannya dibagi menjadi tiga bagian. Sebagian dari isi al-Qur’an menjelaskan tentang sifat wajib Allah. Sebagian yang lain isi kandungan al-Qur’an menjelaskan tentang hukum-hukum syariat Islam dan sebagian diantaranyamenceritakan tentang kejadian dan perilaku umat nabi terdahulu baik umat yang beriman kepada Allah ataupun umat yang inkar kepada-Nya.Ada sebuah pertanyaan yang sangat sederhana. al-Qur’an adalah kalamullah (Firman Allah), Kalamullahsecara tinjauan ilmu tauhid adalah sesuatu yang tidak ada huruf dan tidak ada suaranya, ( Maa laisa biharfin walaa sautin ) tapi kenapa al-Qur’an yang merupakan kalamullah ternyata ada huruf dan ada suaranya bila dibaca? Dalam sebuah keterangan dijelaskan bahwa kalamullah terbagi menjadi 2 (dua) bagian:1. Ada kalamullah sebangsa sifat yang maha terdahulu yang melekat pada dzatnya Allah. Kalamullahseperti itu yang tidak ada huruf dan suaranya;2. Ada Kalamullah sebangsa lafadz yang diturunkan kepada para Nabi/Rasul, Kalamullah yang seperti ini yang ada huruf dan suaranya. Seperti al-Qur’an, Taurot, Injil dan Zabur.Untuk itu, dengan momentum bulan Ramadlan ini mari kita sama-sama untuk membudayakan agar rumah, kantor, masjid/mushola dan sekolahkita selalu dihiasi dengan bacaan al-Qur’an. Jadikan generasi muda kita generasi yang cinta al-Qur’an, jadikan hidup kita agar selalu berpegang teguh dengan ajaran al-Qur’an. Insya Allah semakin sering kita membaca dan mengamalkan perintah al-Qur’an semakin besar harapan kita untuk mendapatkan syafa’at dari al-Qur’an di hari Kiamat nanti. Amiin.Rio Pranata 

Hal-hal yang Diangap Membatalkan Puasa

Berbicara puasa tentu tidak bisa dipisahkan dengan hal-hal yang membatalkannya. Menjadi urgen untuk terus dikaji karena di masyarakat juga tumbuh fikih-fikih tertentu kaitannya dengan pembatal-pembatal puasa yang sangat masyhur, namun sesungguhnya tidak dibangun di atas dalil.Ada sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara kaum muslimin seputar pembatal-pembatal puasa. Di antaranya memang ada yang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara para ulama. Namun ada pula hanya sekadar anggapan yang berlebih-lebihan dan tidak dibangun di atas dalil.Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan—cetakan pertama dari penerbit Adhwa’ as-Salaf—yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti asy-Syaikh Ibnu Baz, asy-Syaikh al-‘Utsaimin, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in.Di antara faedah yang bisa kita ambil dari kitab tersebut adalah:
1.    Bahwa orang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa, dan tidak tahu dari sisi hukumnya, tidaklah batal puasanya. Begitu pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya, seperti orang yang menunaikan sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t setelah menjelaskan tentang pembatal-pembatal puasa, berkata, “Pembatal-pembatal ini akan merusak puasa, namun tidak merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukumnya, ingat (tidak dalam keadaan lupa), dan bermaksud melakukannya (bukan karena terpaksa).”
Kemudian beliau t membawakan beberapa dalil. Di antaranya hadits yang menjelaskan bahwa Allah l telah mengabulkan doa yang tersebut dalam firman-Nya:
“Ya Allah, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah (karena tidak tahu).” (al-Baqarah: 286)
(Hadits yang menjelaskan hal tersebut ada di Shahih Muslim).
Begitu pula ayat ke-106 di dalam surat an-Nahl yang menjelaskan tidak berlakunya hukum kekafiran terhadap orang yang melakukan kekafiran karena dipaksa. Maka hal ini tentu lebih berlaku pada permasalahan yang berhubungan dengan pembatal-pembatal puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/426—428)
Yang dimaksud oleh asy-Syaikh al-‘Utsaimin t adalah apabila orang tersebut benar-benar tidak tahu dan bukan orang yang tidak mau tahu, wallahu a’lam. Sehingga orang yang merasa dirinya teledor atau lalai karena tidak mau bertanya, tentu yang lebih selamat baginya adalah mengganti puasanya atau ditambah dengan membayar kaffarah bagi yang terkena kewajiban tersebut. (Lihat fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz t di dalam Fatawa Ramadhan, 2/435)
2.    Orang yang muntah bukan karena keinginannya (tidak sengaja) tidaklah batal puasanya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:
مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عـَليَهِ قَضَاءٌ، وَإِنِ اسْـتَقَاءَ فَلْيَـقْضِ
“Barang siapa yang muntah karena tidak disengaja, maka tidak ada kewajiban bagi dia untuk mengganti puasanya. Dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti puasanya.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani t di dalam al-Irwa’ no. 930)
Oleh karena itu, orang yang merasa mual ketika dia menjalankan puasa, sebaiknya tidak memuntahkan apa yang ada dalam perutnya karena hal ini akan membatalkan puasanya. Jangan pula dia menahan muntahnya karena ini pun akan berakibat negatif bagi dirinya. Maka biarkan muntahan itu keluar dengan sendirinya karena hal tersebut tidak membatalkan puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/481)
3.    Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Asy-Syaikh Ibnu Baz t berkata, “Tidak mengapa untuk menelan ludah. Saya tidak melihat adanya perselisihan ulama dalam hal ini, karena hal ini tidak mungkin untuk dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak, wajib untuk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal itu memungkinkan untuk dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”
4. Keluar darah bukan karena keinginannya seperti luka, atau karena keinginannya namun dalam jumlah yang sedikit, tidaklah membatalkan puasa. Asy-Syaikh al-‘Utsaimin t berkata dalam beberapa fatwanya:
a.    “Keluarnya darah di gigi tidaklah memengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak tertelan….”
b.     “Tes darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa, yaitu pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya, tidaklah mengapa….”
c.    “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak jika berakibat sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal puasanya)….” (Fatawa Ramadhan, 2/460—466)
Maka, orang yang keluar darahnya akibat luka di giginya baik karena dicabut atau karena terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia tidak boleh menelan darah yang keluar itu dengan sengaja. Begitu pula orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan darahnya tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga membuat badannya lemah, maka hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam (yaitu mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan).
Meskipun terjadi perbedaan pendapat yang cukup kuat dalam masalah ini, namun yang menenangkan tentunya adalah keluar dari perbedaan pendapat. Maka bagi orang yang ingin melakukan donor darah, sebaiknya dilakukan di malam hari, karena pada umumnya darah yang dikeluarkan jumlahnya besar. Kecuali dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, maka dia boleh melakukannya di siang hari. Namun yang lebih hati-hati adalah agar dia mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan.
5.    Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman. Berbeda halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena berfungsi sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat, apakah mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut dan hidung, ataukah bukan. Namun wallahu a’lam, yang benar adalah bahwa keduanya bukanlah saluran yang akan mengalirkan obat ke kerongkongan. Maka obat yang diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa. Meskipun bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak mengapa baginya untuk mengganti puasanya agar keluar dari perselisihan. (Fatawa Ramadhan, 2/510—511)
6.    Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa selama tidak keluar air mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi. Rasulullah n bersabda dalam sebuah hadits sahih yang artinya, “Dahulu Rasulullah n mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk (istrinya) dalam keadaan beliau puasa. Akan tetapi beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” (Lihat takhrijnya dalam kitab al-Irwa’, hadits no. 934)
Akan tetapi bagi orang yang mengkhawatirkan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekadar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah n bersabda:
…يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي…
“(Orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku (Allah l).” (Sahih, HR. Muslim)
Beliau n juga bersabda:
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ
“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan.” (HR. at-Tirmidzi dan an-Nasa’i, dan At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.” Dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’)
7.    Bagi laki-laki yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar rumah memakai wewangian. Namun bila wewangian itu berasal dari suatu asap atau semisalnya, maka tidak boleh untuk menghirup atau mengisapnya. Juga diperbolehkan baginya untuk menggosok giginya dengan pasta gigi kalau dibutuhkan. Namun dia harus menjaga agar tidak ada yang tertelan ke dalam kerongkongan, sebagaimana diperbolehkan bagi dirinya untuk berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan tidak terlalu kuat agar tidak ada air yang tertelan atau terhisap. Namun seandainya ada yang tertelan atau terhisap dengan tidak sengaja, tidaklah membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan at-Tirmidzi, 3/788, an-Nasa’i, 1/66, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’, hadits no. 935)
8.    Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala dan badannya dengan air untuk mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan boleh pula untuk berenang di air dengan selalu menjaga agar tidak ada air yang tertelan ke kerongkongan.
9.    Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk kerongkongan.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas c dalam sebuah atsar, “Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang akan dia beli.” (Atsar ini dihasankan asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’ no. 937)
Demikian beberapa hal yang bisa kami ringkaskan dari penjelasan para ulama. Yang paling penting bagi setiap muslim, adalah meyakini bahwa Rasulullah n tentu telah menjelaskan seluruh hukum yang ada dalam syariat Islam ini. Maka, kita tidak boleh menentukan sesuatu itu membatalkan puasa atau tidak dengan perasaan semata. Bahkan harus mengembalikannya kepada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta penjelasan para ulama.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Jumat, 05 Juli 2013

Keutamaan dan Keistimewaan Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah bulan yang selalu dinanti – nanti. bagi orang – orang mukmin, kepergian bulan Ramadhan jauh lebih disesalkan daripada kepulangan seorang tamu mulia yang berlalu pergi. Tak heran bilamana para salaf dahulu berdoa jauh – jauh hari sebelum Ramadhan datang :

" Yaa Allah, pertemukanlah aku dengan Ramadhan, dan pertemukanlah Ramadhan denganku, dan jadikan amal ibadahku pada bulan mulia itu diterima disisi Mu "
Sekilas kita bertanya – tanya, " apa sih keutamaan bulan Ramadhan dibandingkan bulan – bulan yang lain ? " dalam postingan kali ini, akan kami sebutkan sedikitnya sepuluh keutamaan bulan Ramadhan, meskipun sebenarnya banyak sekali keutamaan bulan yang mulia ini yang telah disebutkan oleh para ulama. Yang kami harapkan bisa bermanfaat bagi kita semua.

1 – Al Qur’an Diturunkan Pada Bulan Ramadhan
Allah ta’ala berfirman :
“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan ) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda ( antara yang hak dan yang bathil )“ ( Al Baqarah : 185 )

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata ( Allah ta’ala memuji bulan bulan Puasa diantara bulan – bulan lainnya, dengan memilih bulan tersebut ( sebagai waktu ) diturunkannya Al Qur’an ) lihat Tafsir Ibnu Katsir 1 / 282

“Karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir ( di negeri tempat tinggalnya ) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan ( lalu ia berbuka ), Maka ( wajiblah baginya berpuasa ), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur “ ( Al Baqarah : 185 )

Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah berkata ( dalam ayat yang mulia ini Allah menyebutkan 2 keutamaan bulan Ramadhan: ……………. Yang kedua adalah dengan diwajibkannya puasa Ramadhan atas umat ini, sebagaimana firman Allah “ karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir ( di negeri tempat tinggalnya ) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, “ ) lihat ithaaful Iman bi Duruus Syahri Ramadhan hal. 15

3. Pintu Langit Dibuka Sedangkan Pintu – Pintu Neraka Ditutup
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

إذا دخل شهر رمضان فتحت أبواب السماء و غلقت أبواب جهنم و سلسلت الشياطين

“Apabila telah datang bulan Ramadhan, pintu – pintu langit dibuka, sedangkan pintu – pintu neraka akan ditutup, dan setan dibelenggu“ ( diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim )

4. Diampuninya Dosa – Dosa Di Bulan Itu
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

من صام رمضان إيماناً واحتساباً غُفر له ما تقدم من ذنبه

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa – dosanya yang telah lalu“ ( diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim )

Dalam hadits lain beliau bersabda :

رغم أنف رجل دخل عليه رمضان ثم انسلخ قبل أن يغفر له

“Celakalah seseorang, ia memasuki bulan Ramadhan kemudian melaluinya sedangkan dosanya belum diampuni “ ( diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ahmad )

5. Dilipat Gandakan Pahala Pada Bulan Ramadhan
Rasulullah shallallah alaihi wa sallam bersabda :

عمرة في رمضان تعدل حجة

“Pahala umrah pada bulan Ramadhan menyamai pahala ibadah haji“ ( diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim ), Dalam riwayat Muslim disebutkan “……..menyamai pahala ibadah haji bersamaku“

Ibnu Rajab rahimahullah berkata ( Abu Bakr bin Abi Maryam menyebutkan bahwa banyak guru – gurunya yang berkata : apabila telah dating bulan Ramadhan maka perbanyaklah berinfaq, karena infaq pada bulan Ramadhan dilipat gandakan bagaikan infaq fi sabilillah, dan tasbih pada bulan Ramadhan lebih utama daripada tasbih di bulan yang lain )

6. Lailatul Qadr Ada Di Bulan Ramadhan
Lailatul Qadr ( malam kemuliaan ) adalah suatu malam yang ada pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, yang mana malam tersebut memiliki banyak sekali barakah dan kemuliaan, bahkan satu malam tersebut lebih baik dari seribu bulan.

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar“ ( Al Qadr : 1-5 )

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

إن هذا الشهر قد حضركم و فيه ليلة خير من ألف شهر من حرمها فقد حرم الخير كله

“Sesungguhnya bulan (Ramadhan) telah dating kepada kalian, di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dari seribu bulan, barang siapa yang tidak mendapatinya maka ia telah kehilangan banyak sekali kebaikan“ ( diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dihasankan oleh Al Mundziry )

7. Disyareatkannya I’tikaf Di Bulan Ramadhan
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu.

Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa “ ( Al Baqarah : 187 )
Anas radhiallahu anhu berkata :

“Adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan, sampai beliau wafat, kemudian istri – istri beliau pun beri’tikaf setelahnya“ ( diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim )

8. Puasa Ramadhan Salah Satu Sebab Masuk Surga
Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ada dua orang dari bani Qudha’ah yang masuk islam, kemudian salah seorang dari mereka mati syahid, sementara yang satunya wafat setahun kemudian, salah seorang sahabat bernama Thalhah bin Ubaidillah radhiallahu anhu berkata : aku bermimpi melihat surga, lalu aku melihat orang yang wafat setahun kemudian tersebut masuk surga sebelum orang yang mati syahid, akupun terheran – heran, maka tatkala pagi hari aku memberitahu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliaupun bersabda :

أليس قد صام بعده رمضان و صلى ستة آلاف أو كذا و كذا رعكة صلاة سنة

“Bukankah setelah itu ( dalam waktu setahun ) ia berpuasa Ramadhan, shalat enam ribu rakaat atau shalat sunnah beberapa rakaat?“ ( diriwayatkan oleh Ahmad dan dishahihkan oleh Albani )


9. Bulan Ramadhan Bulan Ibadah Dan Amal Kebaikan
Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda :

من قام رمضان إيمانا و احتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

“Barangsiapa yang berdiri shalat pada bulan Ramadhan dengan penuh iman dan mengharap pahala maka akan diampuni dosa – dosanya yang telah lalu“ ( diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim )

Inilah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, apabila telah memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau mengencangkan sarung beliau, menghidupkan malam Ramadhan, dan membangunkan keluarganya.

Inilah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi apabila datang bulan Ramadhan.

10. Bulan Ramadhan Adalah Bulan Penuh Berkah, Rahmat, Dan Mustajabnya Doa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

أتاكم رمضان شهر مبارك

“Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan penuh berkah“ ( diriwayatkan oleh An Nasai dan dishahihkan oleh Albani )

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

إذا دخل شهر رمضان فتحت أبواب الرحمة و غلقت أبواب جهنم و سلسلت الشياطين

“Apabila telah masuk bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu – pintu rahmat, sedangkan pintu – pintu neraka jahannam ditutup, dan setanpun dibelenggu“ ( diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dan ini adalah lafadz Muslim )

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

إن لكل مسلم في كل يوم و ليلة – يعني في رمضان – دعوة مستجابة

“Sesungguhnya setiap muslim pada tiap siang dan malam hari – pada bulan Ramadhan – memiliki doa yang mustajab“ ( diriwayatkan oleh Al Bazzar dan dishahihkan oleh Albani )

Demikian sedikit keutamaan Ramadhan yang bisa kami sajikan. Semoga Allah memudahkan menerima amal ibadah kita di mulia ini. Aamiin.

PUASA RAMADHAN 2013


AWAL PUASA RAMADHAN 2013: Muhammadiyah Mulai Berpuasa 9 Juli
BISNIS.COM, JAKARTA-Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkan 1 Ramadhan 1434 Hijriyah/2013 Masehi jatuh pada Selasa Wage, 9 Juli 2013 dan 1 Syawal 1434 H/2013 M jatuh pada Kamis Wage, 8 Agustus 2013.

Penetapan itu ditetapkan oleh PP Muhammadiyah berdasarkan hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, ditandatangani oleh Ketua umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dan Sekretaris umum PP Mummadiyah Danarto, seperti tertuang dalam Maklumat No.04/MLM/I.0/E/2013 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah 1434 H tertanggal 23 Mei 2013.

Menurut maklumat itu, ijtimak jelang Ramadan 1434 H terjadi pada hari Senin Pon, 8 Juli 2013 M pukul 14:15:55 WIB. Tinggi bulan pada saat terbenam Matahari di Yogyakarta ( + : : -07" 48, dan ),: 110o 21, BT ) *0o 44' 59" (hilal sudah wujud). Pada saat Matahari terbenam tanggal 8 Juli 2013 M (hari Senin), di sebagian wilayah barat. Kemudian, Indonesia hilal sudah wujud dan di sebagian wilayah timur Indonesia belum wujud.

Dengan demikian, garis batas wujudul hilal melewati wilayah Indonesia dan membagi wilayah Indonesia menjadi dua bagian.

"1 Ramadhan 1434 H jatuh pada Selasa Wage, 9 Juli 2013".
Selain itu, ijtimak jelang Syawal 1434 H terjadi pada hari Rabu Pon, 7 Agustus 2013 M pukul 04:52:19 WIB. Tinggi bulan pada saat terbenam Matahari di Yogyakarta ( 0 : -07" 48, dan l": l l0o 21, BT ) : *03o 54' ll" (hilal sudah wujud) dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat terbenam matahari itu, bulan berada di atas ufuk.

"1 Syawal 1434 H jatuh pada Kamis Wage, 8 Agustus 2013".
Berdasarkan penetapan ini, kemungkinan akan terjadi perbedaan awal puasa Ramadhan.

Sebelumnya, Badan Hisab Rukyat Provinsi Sumatra Utara telah memutuskan awal Ramadhan 1434 Hijriyah/2013 Masehi jatuh pada Rabu, 10 Juli 2013 dan 1 Syawal 1434 H/2013 M jatuh pada Kamis, 8 Agustus 2013. Meskipun demikian, Badan Hisab Rukyat (BHR) Sumut mengimbau umat Islam untuk menunggu sidang itsbat Menteri Agama RI.

"Penetapan awal Ramadhan dan awal Syawal tetap saja ada potensi perbedaan. Namun masyarakat diimbau dapat menyikapi perbedaan itu secara arif dan bijaksana. Jangan sampai ada keributan dan konflik," kata H.Arso, Ketua BHR Sumut.

Dalam keterangan pers di laman Kemenag Sumut, Ketua Badan Hisab Rukyat Sumut, H.Arso mengatakan awal Ramadhan 1434 H jatuh pada Rabu, 10 Juli 2013 berdasarkan pada ijtimak awal Ramadhan 1434 H terjadi pada Senin, 8 Juli 2013 pukul 4j 14m 05d WIB.

"Ketika matahari terbenam pada hari terjadinya ijtimak, di seluruh Indonesia tinggi hilal antara : -000 47’ 19” s.d. +000 16’ 51” (belum memenuhi kriteria imkan rukyat +20) berdasarkan pada ikmal Sya’ban 1434 H," katanya.

Dia menambahkan adapun 1 Syawal 1434 H jatuh pada Kamis, 8 Agustus 2013 berdasarkan ijtimak awal Syawal 1434 H terjadi pada Rabu, 7 Agustus 2013 pukul 04j 05m 33d WIB.

"Ketika matahari terbenam pada hari terjadinya ijtimak, di seluruh Indonesia tinggi hilal sudah berada di atas ufuk antara : +010 59’ 45” s.d. +030 23’ 09” (telah mencapai kriteria imkan rukyat +020) berdasarkan pada kriteria imkan rukyat," tuturnya.

Sabtu, 25 Mei 2013

Wudhu Yang Sempurna


Keutamaan Wudhu Yang Sempurna

Seorang yang bertaubat dan ingin Hijrah dari mengerjakan perbuatan yang mungkar menuju hanya mengharap Ridho, Rahmat, Ampunan, serta Pertolongan Allah, senantiasa ingin menyempurnakan berbagai amalan ibadahnya.

Salahsatu dasar amalan ibadah agar diterima oleh Allah SWT adalah Wudhu Yang Sempurna, karena salahsatu manfaat wudhu yang sempurna adalah gugurnya dosa-dosa kecil yang pernah dikerjakan sebelumnya.

Hadis riwayat Usman bin Affan Radhiyallahu 'anhu : ia berkata : Bahwa Ia (Usman Radhiyallahu 'anhu ) minta air lalu berwudhu. Beliau membasuh kedua telapak tangannya tiga kali lalu berkumur dan mengeluarkan air dari hidung. Kemudian membasuh wajahnya tiga kali, lantas membasuh tangan kanannya sampai siku tiga kali, tangan kirinya juga begitu. Setelah itu mengusap kepalanya, kemudian membasuh kaki kanannya sampai mata kaki tiga kali, begitu juga kaki kirinya. Kemudian berkata: Aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu seperti wudhuku ini, lalu beliau bersabda: Barang siapa yang berwudhu seperti cara wudhuku ini, lalu salat dua rakaat, di mana dalam dua rakaat itu ia tidak berbicara dengan hatinya sendiri, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni (HR. Muslim No. 331)

Disunahkan untuk melebarkan area wudhu :

Hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu , ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Kalian adalah orang-orang yang memiliki cahaya muka, cahaya tangan dan cahaya kaki pada hari kiamat, karena penyempurnaan wudhu. Maka barang siapa di antara kalian yang mampu, hendaklah ia memanjangkan cahaya putih tersebut. (HR. Muslim No. 362)

Nu'aim al-Mujmir Radhiyallahu 'anhu berkata, "Saya naik bersama Abu Hurairah ke atas masjid. Ia berwudhu lalu berkata, 'Sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi bersabda, 'Sesungguhnya pada hari kiamat nanti umatku akan dipanggil dalam keadaan putih cemerlang dari bekas wudhu. Barangsiapa yang mampu untuk memperlebar putihnya, maka kerjakanlah hal itu.'"[5]

Tidak akan diterima Shalat kita jika tanpa berwudhu :



Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Tidaklah diterima shalat orang yang berhadats sehingga ia berwudhu.' Seorang laki-laki dari Hadramaut bertanya, "Apakah hadats itu, wahai Abu Hurairah?" Ia menjawab, "Kentut yang tidak berbunyi atau kentut yang berbunyi." (HR. Bukhari)

Selalu dalam keadaan berwudhu sebagai tanda kita termasuk hamba-Nya yang selalu bersyukur :

Wudhu juga sebagai tanda Allah SWT sayang kepada kita, ingin membersihkan kita (dari segala dosa), ingin menyempurnakan nikmat yang kita terima, dan ingin membuat kita menjadi hamba-Nya yang besyukur. Dalam artian lain, wudhu menunjukkan kepada Allah SWT bahwa kita termasuk hamba-Nya yang bersyukur  :
QS. Al Maa-idah [5] : 6
yaa ayyuhalladziina aamanuu idzaa qumtum ilaa ash-sholaati fagh-siluu wujuuhakum wa-aydiyakum ilaalmaraafiqi wamsahuu biru-uusikum wa-arjulakum ilaalka'bayni, wa-in kuntum junuban fath-thoh-haruu, wa-in kuntum mardhoo aw 'alaa safarin aw jaa-a ahadum-minkum minal-ghaa-ithi aw laamastumun-nisaa-a falam tajiduu maa-an fatayammamuu sho'iidan thoyyiban famsahuu biwujuuhikum wa-aydiikum minhu, maa yuriidullaahu liyaj'ala 'alaykum min harajin walaakin yuriidu liyuthoh-hirokum waliyutimma ni'matahu 'alaykum la'allakum tasykuruun

[5:6] Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit403 atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh404 perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni'mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Memelihara wudhu akan mengangkat derajat kita :

Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah bertanya kepada Bilal ketika shalat Fajar, “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amalan yang paling engkau amalkan dalam Islam, karena aku sungguh telah mendengar gemerincing sandalmu di tengah-tengahku dalam surga.” 

Bilal berkata, “Aku tidaklah mengamalkan amalan yang paling kuharapkan di sisiku, hanya aku tidaklah bersuci di waktu malam atau siang, kecuali aku shalat bersama wudhu itu sebagaimana yang telah ditetapkan bagiku.” (HR Bukhari).


Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang dengannya Allah akan menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajatnya! Para sahabat berkata: “Tentu, wahai Rasulullah. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menyempurnakan wudhu walaupun dalam kondisi sulit, memperbanyak jalan ke masjid, dan menunggu shalat setelah shalat, maka itulah yang disebut dengan ar ribath.” (HR. Muslim no. 251)


Ar-ribath = senantiasa menjaga kesucian.



Berwudhu sebelum tidur :
QS. Az Zumar [39] : 42
allaahu yatawaffal-anfusa hiina mawtihaa wallatii lam tamut fii manaamihaa, fayumsikullatii qadhoo 'alayhaalmawta wayursilul-ukhraa ilaa ajalin musamma, inna fii dzaalika la aayaatil-liqawmin yatafakkaruun.

[39:42] Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.

Mati dapat datang kapanpun, juga di waktu kita tidur. Maka sebaiknya berwudhu sebelum tidur.

"Apabila engkau hendak mendatangi pembaringan (tidur), maka hendaklah berwudhu terlebih dahulu sebagaimana wudhumu untuk melakukan shalat." (HR. Bukhari dan Muslim serta yang lainnya).

Berwudhu sebelum berhubungan suami isteri :

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila seseorang telah berhubungan denga istrinya, kemudia ingin mengulanginya lagi maka hendaklah berwudhu terlebih dahulu.” (HR. Muslim no 308, At Tirmidzi, Ahmad dari Abu Sa’id Al Khudri dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Ats Tsamarul Mustathob hal.5)

Urutan Wudhu Yang Sempurna :


الحمد لله رب العالمين، وبه نستعين، والصلاة والسلام على سيد المرسلين، وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد:
Alloh -subhanahu wa ta’ala- berfirman dalam surat Al-Maidah yang dikenal oleh para ulama sebagai ‘ayat wudhu’:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku. Usaplah kepala dan basuh kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Ayat tersebut diawali dengan seruan Alloh -ta’ala- kepada orang-orang mukmin. Hal ini menunjukkan akan pentingnya perkara wudhu ini, karena dengan seruan tersebut mengharuskan adanya perhatian dari yang diseru. Kemudian seruan tersebut diarahkan kepada orang-orang yang beriman, sehingga menunjukkan bahwa pelaksanaan hukum wudhu dalam ayat tersebut secara baik dan tepat merupakan konsekuensi iman. Sebaliknya, jika dilakukan secara serampangan, maka dapat mengurangi kualitas keimanan seorang mukmin. (lihat Tadwinul Faidah, oleh Syaikhuna Yahya -hafidzohulloh-, hal. 22)
Di samping itu, wudhu termasuk syarat sahnya sholat seseorang, Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Tidak diterima sholat salah seorang dari kalian jika berhadats, sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhori dan Muslim dari Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhu-)
Banyak hadits-hadits Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- yang shohih menjelaskan perincian ayat tersebut, yaitu tata-cara berwudhu sesuai As-Sunnah yang jikalau umat Islam mengamalkan petunjuk Nabi mereka -baik dalam peribadatan maupun mu’amalah-, maka akan mendapatkan keutamaan yang banyak dan barokah serta kesejahteraan hidup, baik di dunia maupun di akherat kelak. Ini semua merupakan bentuk kasih sayang dan rahmat beliau -‘alaihis-sholatu was-salam- terhadap umat akhir zaman ini.
Demikian pula para sahabat beliau -rodhiyallohu ‘anhum-, telah bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam menyampaikan sunnah Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- kepada generasi setelah mereka para salafush-sholeh dan seterusnya, sehingga ajaran Islam yang murni ini -termasuk tata cara bersuci- sampailah kepada kita dengan sempurna dan terang-benderang -malamnya bagaikan siang-. Tidaklah seseorang itu berpaling dan enggan untuk menerimanya, melainkan ia akan hidup sengsara dan binasa.
Inilah sahabat Ali bin Abi Tholib -rodhiyallohu ‘anhu- ketika berwudhu mengatakan kepada siapa yang waktu itu berada di sekitarnya: “Siapa yang ingin mengetahui wudhu Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, maka inilah dia.” (Riwayat Abu Dawud)
Demikian juga ‘Utsman bin ‘Affan -rodhiyallohu ‘anhu-, ketika berwudhu dengan membasuh anggota wudhunya sebanyak tiga kali, berkata kepada siapa yang ada di sekitarnya: “Aku telah melihat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- berwudhu seperti wudhuku ini.” (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Para salaf pun demikian bersemangat untuk menanyakan bagaimana tata cara wudhu Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan bersungguh-sungguh dalam mempelajari dan mengajarkannya, sampai-sampai di antara mereka ada yang dikenal sebagai ‘Ibnu Syaikh Wudhu’ (anak syaikh wudhu); yaitu Ahmad bin Muhammad bin Ibrohim Ash-Shofadiy (wafat 799H). Hal itu karena ayahnya dahulu suka mengajari orang-orang awam tata-cara berwudhu, sehingga dijuluki sebagai ‘Syaikh Wudhu’. (lihat Syudzurot Adz-Dzahab: 6/357)

PENTINGNYA KESEMPURNAAN DALAM BERWUDHU
Wudhu yang sempurna adalah wudhu yang sesuai dengan sunnah Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, dengan memenuhi kewajiban-kewajiban, sunnah-sunnahnya serta menghindari kesalahan-kesalahan yang terjadi. Dengan demikian, seorang muslim yang membaguskan wudhunya akan mendapatkan manfaat dan keutamaan yang besar dari amalan tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut:
Kesempurnaan wudhu separoh dari keimanan
Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ شَطْرُ الْإِيمَانِ
“Kesempurnaan wudhu adalah separoh dari keimanan.” (HR. An-Nasa’iy dan Ibnu Majah dari Abu Malik Al-Asy’ariy -rodhiyallohu ‘anhu-, dishohihkan oleh Syaikhuna Yahya -hafidzohulloh- dalam Tadwinul Faidah, hal. 18)
Diantara makna hadits ini adalah bahwasanya yang dimaksud iman di sini adalah sholat, sebagaimana dalam firman Alloh -subhanahu wa ta’ala-:
وَمَا كَانَ الله لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
“Alloh tidak akan menyia-nyiakan iman kalian (yaitu sholat kalian ketika masih berkiblat ke Baitul Maqdis).” (QS. Al-Baqoroh: 143)
Sedangkan wudhu adalah syarat sahnya sholat, maka seolah-olah ia adalah separoh sholat. Tidak melazimkan bahwa yang dimaksudkan dengan separoh di sini adalah secara hakiki. (lihat Syarh Shohih Muslim, no. 223; karya Imam An-Nawawiy -rohimahulloh-)
Wudhu yang baik penyebab datangnya ampunan
Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لَا يَتَوَضَّأُ رَجُلٌ مُسْلِمٌ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ فَيُصَلِّي صَلَاةً إِلَّا غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الصَّلَاةِ الَّتِي تَلِيهَا
“Tidaklah seorang muslim membaguskan wudhunya kemudian melakukan sholat, kecuali Alloh akan memberikan ampunan untuknya di antara sholat yang satu dengan sholat berikutnya.” (HR. Muslim dari ‘Utsman bin ‘Affan -rodhiyallohu ‘anhu)
Yang dimaksud dengan membaguskan wudhu di sini adalah melakukan sifat (tata cara) dan adab wudhu secara sempurna. Dalam hadits ini pula mengandung anjuran untuk mempelajari syarat-syarat, tata cara, adab-adab berwudhu dan beramal dengannya secara hati-hati serta bersungguh-sungguh untuk berwudhu secara sempurna. (lihat Syarh Shohih Muslim, no. 333)
Wudhu yang sempurna sebab dihapuskannya dosa-dosa
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مَنْ أَتَمَّ الْوُضُوءَ كَمَا أَمَرَهُ اللهُ تَعَالَى، فَالصَّلَوَاتُ الْمَكْتُوبَاتُ كَفَّارَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ
“Siapa yang menyempurnakan wudhunya sebagaimana yang diperintahkan oleh Alloh ta’ala, maka sholat lima waktu itu sebagai penghapus dosa di antara sholat-sholat tersebut.” (HR. Muslim dari ‘Utsman bin ‘Affan -rodhiyallohu ‘anhu-)
Hadits ini berlaku bagi seseorang yang mencukupkan diri dengan melakukan kewajiban-kewajiban dalam berwudhu, tanpa melakukan perkara-perkara sunnah mustahabbah dalam berwudhu. Jika seseorang menyempurnakan wudhunya dengan melakukan perkara-perkara sunnah, maka akan lebih banyak pula dosa-dosa yang dihapuskan. (lihat Syarh Shohih Muslim, no. 231)
Sebab dibukakannya pintu-pintu masuk jannah
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ – أَوْ فَيُسْبِغُ – الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاء
“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu dan membaguskan wudhunya, lalu mengucapkan: “Asyhadu all-laa ilaaha illalloh, wa anna Muhammadan ‘abdullohi wa rosuuluh,” melainkan akan dibukakan untuknya delapan pintu-pintu jannah, silahkan ia memasukinya dari pintu manapun yang dikehendaki.” (HR. Muslim dari Umar bin Al-Khotthob -rodhiyallohu ‘anhu-)

SIFAT (TATA-CARA) WUDHU NABI
Banyak diantara para salaf menjelaskan tata-cara berwudhu dengan cara praktek langsung di hadapan orang-orang. Hal ini telah dimaklumi bersama, bahwa hal itu lebih mudah untuk diingat dan dipahami daripada hanya sekedar teori.
Diantara riwayat yang lengkap dalam menggambarkan sifat wudhu Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- adalah dari ‘Utsman bin ‘Affan -rodhiyallohu ‘anhu- dalam Shohih Bukhori dan Muslim:
دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ. ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه. قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ: هَذَا الْوُضُوءُ أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ أَحَدٌ لِلصَّلَاةِ.
“Beliau meminta air wudhu, lalu memulai berwudhu dengan mencuci kedua telapak tangan sebanyak tiga kali. Kemudian berkumur-kumur disertai dengan memasukkan air ke dalam hidung dan mengeluarkannya. Kemudian mencuci wajah sebanyak tiga kali. Lalu mencuci tangan kanan sampai siku sebanyak tiga kali, demikian juga tangan kirinya. Kemudian mengusap kepala. Lalu mencuci kaki kanannya sampai mata kaki sebanyak tiga kali, demikian juga kaki kirinya. Lalu beliau berkata: “Aku telah melihat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- berwudhu seperti wudhuku ini.” Kemudian menyampaikan sabda Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-: “Siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, lalu mendirikan sholat dua rokaat dengan khusyu’, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
Ibnu Syihab Az-Zuhriy -rohimahulloh- berkata: “Ulama kami dahulu mengatakan: “Ini adalah cara wudhu terbaik yang dilakukan seseorang untuk mendirikan sholat.”
Banyak riwayat-riwayat lainnya secara rinci melengkapi hadits ini dalam tata-cara wudhu, sehingga dapat disimpulkan secara singkat bahwa sifat wudhu Nabi secara urut dan sempurna adalah sebagai berikut:
  • Pertama, berniat wudhu dalam hati; lalu mencuci kedua telapak tangan (tiga kali);
  • Kemudian berkumur disertai dengan memasukkan air ke dalam hidung (istinsyaq) dan mengeluarkannya (istintsar) sebanyak tiga kali;
  • Lalu mencuci atau membasuh seluruh permukaan wajah (tiga kali); disertai dengan menyela-nyela jenggot (jika berjenggot lebat sampai menutup kulit di bawahnya);
  • Lalu mencuci kedua tangan: dari ujung jari sampai siku (tiga kali);
  • Kemudian mengusap kepala sebanyak satu kali, dimulai dari arah depan tempat tumbuhnya rambut kepala sampai ke belakang, lalu mengembalikannya kembali ke depan disertai dengan mengusap kedua telinga, dengan memasukkan ujung jari telunjuk ke dalam lobang telinga dan mengusap bagian dalam telinga dangan jari telunjuk dan bagian luar dengan ibu jari; atau mengusap ‘imamah jika sedang mengenakannya (sebagai ganti mengusap kepala);
  • Kemudian mencuci kedua kaki sampai mata kaki (tiga kali); atau mengusap bagian atas kedua khuf (sepatu tinggi yang menutupi mata kaki atau kaos kaki) jika sedang mengenakannya;
  • Kemudian yang terakhir membaca dzikir setelah wudhu sebagaimana telah tersebut dalam hadits Umar -rodhiyallohu ‘anhu- di atas (asy-syahadatain).
  • Semuanya dilakukan secara tertib dan terus-menerus tanpa ada jeda dalam waktu yang lama tanpa adanya udzur syar’iy.
Adapun perincian sifat wudhu Nabi selengkapnya, baik kewajiban-kewajiban atau sunnah-sunnahnya yang disertai dengan dalil-dalilnya, maka tidaklah disebutkan di sini, tetapi memerlukan risalah tersendiri. Semoga Alloh -subhanahu wa ta’ala- memudahkannya di waktu mendatang.

KESALAHAN-KESALAHAN DALAM BERWUDHU
Hal ini merupakan inti pembahasan risalah ini yang bertujuan agar kaum muslimin  menghindarkan diri dari hal-hal yang dapat mengurangi kesempurnaan wudhunya, bahkan diantara kesalahan-kesalahan tersebut ada yang merusak sahnya wudhu seseorang.
Batasan kesalahan dalam berwudhu
Yang dimaksudkan dengan melakukan kesalahan dalam berwudhu adalah jika seseorang:
-          Meninggalkan kewajiban-kewajiban wudhu, seperti niat, membasuh wajah, tangan, kaki, mengusap kepala dan sebagainya.
-          Melakukan hal-hal yang tidak ada dalilnya sama sekali.
-          Melakukan atau meninggalkan sesuatu sebagai bentuk penyelisihan terhadap dalil-dalil yang jelas dan shohih serta mengikuti pendapat yang sangat lemah.
Beberapa kesalahan dalam berwudhu
  1. 1. Melafadzkan niat.
Niat adalah syarat sahnya suatu amalan, termasuk wudhu ini. Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Hanyalah amalan-amalan itu dengan niat-niat dan setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhoriy dan Muslim dari Umar -rodhiyallohu ‘anhu-)
Niat adalah amalan hati, yaitu kehendak hati untuk melakukan sesuatu dan bukan amalan lisan. Melafadzkan niat dalam berwudhu dan ibadah lainnya tidaklah disyariatkan, karena hal itu tidak pernah dilakukan dan dituntunkan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, juga tidak seorang pun dari para khulafaur-rosyidin, para sahabat, salafush-sholeh dan para ulama muslimin melakukannya. Itu hanyalah perkara yang diada-adakan oleh orang-orang belakangan yang tidak merasa cukup dengan apa yang telah dituntunkan oleh syariat yang telah sempurna ini.
Alloh -subhanahu wa ta’ala- maha mengetahui niat-niat yang ada dalam hati-hati manusia, sehingga tidak ada perlunya lagi bersusah payah untuk melafadzkannya. Apakah masuk akal, jika seseorang hendak makan -misalnya-, lalu ia mengatakan: “Aku berniat makan ini dan itu untuk menghilangkan rasa lapar…” Maka demikian pula dalam berwudhu ataupun amalan lainnya, tidaklah perlu dia berkata: “Aku berniat untuk berwudhu untuk menghilangkan hadats…” Tidaklah hal itu dilakukan, kecuali oleh orang yang jahil dan kurang akalnya. Maka hal itu tertolak, baik secara tabiat maupun syariat.
Syaikhul Islam -rohimahulloh- mengatakan bahwa hal itu merupakan kebid’ahan menurut kesepakatan ulama. Siapa yang melakukannya dengan berkeyakinan bahwa hal itu disyariatkan, maka ia adalah seorang jahil dan sesat serta pantas mendapatkan hukuman. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam -rohimahulloh-: 22/218 & 236)
Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang melakukan suatu amalan bukan dari tuntunan kami (kebid’ahan), maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah -rodhiyallohu ‘anha-)
  1. 2. Mencuci kedua mata bagian dalam.
Perbuatan ini tidak disunnahkan, baik dalam berwudhu maupun mandi wajib, karena Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tidak pernah melakukannya dan tidak pula menuntunkannya, bahkan dapat mengganggu kesehatan mata. Adapun pendapat sebagian orang akan disunnahkannya perbuatan tersebut, sama sekali tidaklah didukung dengan dalil.
  1. 3. Berlebihan dalam penggunaan air wudhu.
Dahulu Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menggunakan sedikit air wudhu. Seringnya beliau berwudhu dengan satu mud air (kurang lebih sebanyak dua telapak tangan orang dewasa), sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Bukhori dan Muslim. Bahkan beliau pernah berwudhu hanya dengan dua pertiga mud, sebagaimana dalam hadits Ummu ‘Umaroh -rodhiyallohu ‘anha- riwayat Abu Dawud dan An-Nasa’iy (dishohihkan oleh Imam Al-Wadi’iy -rohimahulloh- dalam Ash-Shohihul Musnad: 2/544)
Tidak apa-apa jika seseorang berwudhu dengan menggunakan air lebih dari satu mud jika dibutuhkan, selama tidak berlebihan. Hal ini karena tidak ada dalil tentang batasan air terbanyak yang boleh digunakan. Berwudhu secara sempurna dengan menggunakan sedikit air menunjukkan tingkatan fiqih seseorang dan ini termasuk madzhab Ahlussunah wal jama’ah, berbeda dengan kelompok ‘Ibadhiyah dan Khowarij yang suka berlebihan dalam menggunakan air wudhu. Kelompok ini muncul pada zaman tabi’in dan banyak atsar-atsar salaf diriwayatkan sebagai bentuk pengingkaran terhadap perbuatan mereka. (lihat At-Tamhid: 8/105, karya Imam Ibnu ‘Abdil Barr -rohimahulloh-)
  1. 4. Mencuci atau membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali.
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- berwudhu secara sempurna dengan membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali dan menganjurkan umatnya untuk melakukan yang demikian, sebagaimana dalam hadits ‘Utsman bin ‘Affan -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Bukhoriy dan Muslim tersebut di atas.
Beliau juga pernah berwudhu dua kali-dua kali sebagaimana dalam hadits ‘Abdulloh bin Zaid  -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Bukhoriy dan satu kali-satu kali sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas -rodhiyallohu ‘anhuma- riwayat Bukhoriy. Terkadang beliau mencuci atau membasuh sebagian anggota wudhu tiga kali dan sebagian yang lain dua kali salam sekali berwudhu, sebagaimana dalam hadits ‘Abdulloh bin Zaid -rodhiyallohu ‘anhu- juga riwayat Bukhoriy dan Muslim.
Semuanya boleh dilakukan meskipun yang afdhol adalah cara pertama. Akan tetapi beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- melarang umatnya untuk sengaja membasuh lebih dari tiga kali dengan sabda beliau setelah berwudhu:
هَكَذَا الْوُضُوءُ، فَمَنْ زَادَ عَلَى هَذَا فَقَدْ أَسَاءَ وَتَعَدَّى وَظَلَمَ
“Demikianlah wudhu itu, siapa yang menambah dari ini (lebih dari tiga kali basuhan), maka dia telah melakukan kejelekan, melanggar dan berbuat dzolim.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’iy dari ‘Abdulloh bin ‘Amr -rodhiyallohu ‘anhuma, dihasankan oleh Syaikhuna Ibnu Hizam dalam Fathul ‘Allam: 1/148)
  1. 5. Mengusap kepala lebih dari sekali.
As-Sunnah yang shohih menunjukkan secara jelas bahwa kepala hanyalah diusap sekali saja, sebagaimana dalam hadits ‘Utsman, ‘Abdulloh bin Zaid dalam Ash-Shohihain dan juga hadits ‘Ali bin Abi Tholib -rodhiyallohu ‘anhum- dalam Sunan Abu Dawud dengan sanad yang shohih bahwasanya Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mengusap kepalanya sebanyak satu kali dan ini adalah pendapat jumhur ulama. (lihat Fathul ‘Allam: 1/151)
Adapun yang berpendapat bahwa kepala juga diusap sebanyak tiga kali sebagaimana anggota wudhu lainnya, berdalil dengan keumuman hadits bahwa Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- berwudhu tiga kali sebagaimana tersebut di atas. Akan tetapi hadits ini bersifat global, telah diperjelas oleh hadits-hadits lainnya secara terperinci yang hendaknya seseorang itu beramal dengannya sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih.
Mereka juga berdalil dengan riwayat-riwayat yang secara jelas menunjukkan bahwa beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mengusap kepala sebanyak tiga kali, tetapi riwayat-riwayat tersebut sangat lemah tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
  1. 6. Mengusap tengkuk.
Tidak ada dalil yang shohih dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bahwasanya beliau mengusap tengkuknya ketika berwudhu. Sebaliknya, riwayat-riwayat yang shohihah tentang sifat wudhu tidak menyebutkan sama sekali bahwa beliau melakukan hal itu. Dengan demikian, mengusap tengkuk ketika berwudhu termasuk perbuatan kebid’ahan yang tertolak dalam agama ini. (lihat Fathul ‘Allam: 1/145) Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa mengada-adakan suatu perkara dalam urusan kami (agama ini) yang bukan darinya, maka ia tertolak.” (HR. Bukhori dan Muslim dari ‘Aisyah -rodhiyallohu ‘anha-)
  1. 7. Mencukupkan diri dengan mengusap telinga tanpa kepala.
Tidak sah wudhu seseorang yang hanya mencukupkan diri dengan mengusap dua telinga dan meninggalkan untuk mengusap kepala menurut kesepakatan (ijma’) para ulama. (lihat Al-Muhalla, no. 199; karya Ibnu Hazm dan Syarhul Muhadzab: 1/415, karya Imam An-Nawawiy -rohimahumalloh-)
  1. 8. Sekedar mengusap kedua kaki tanpa mencucinya.
Telah mutawatir dari Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bahwasanya beliau dalam berwudhu membasuh atau mencuci kedua kaki sampai mata kaki jika tidak sedang mengenakan khuf. Tidak ada satu riwayat pun yang shohih, bahwa beliau sekedar mengusap keduanya saja. Bahkan beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mengingkari seseorang yang sekedar mengusap kedua kaki tanpa membasuhnya dengan berseru:
وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ
“Neraka Wail (kecelakaan dengan sengatan api neraka) bagi tumit-tumit (yang tidak terbasuh air wudhu)!” (HR. Bukhori dan Muslim dari ‘Abdulloh bin ‘Amr -rodhiyallohu ‘anhuma-)
Oleh karena itu, membasuh kedua kaki dalam berwudhu merupakan sunnah Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- yang wajib dilakukan dan merupakan madzhab Ahlussunnah. Para sahabat Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah bersepakat tentang hal ini. Tidak shohih dari seorang sahabat pun yang menyelisihi hal ini, kecuali apa yang diriwayatkan dari ‘Ali, Ibnu ‘Abbas dan Anas -rodhiyallohu ‘anhum-. Akan tetapi telah shohih riwayat-riwayat tentang rujuknya mereka semua kepada al-haq.  (lihat Fathul Bariy: 1/348, karya Ibnu Hajar -rohimahulloh-)
Adapun kelompok Rofidhoh, mereka mengatakan bahwa kedua kaki hanya diusap saja tanpa dibasuh atau dicuci. Maka mereka telah menyelisihi dalil-dalil As-Sunnah mutawatir tentang membasuh kedua kaki. Syaikhul Islam -rohimahulloh- mengatakan: “Siapa yang hanya mengusap kedua kaki, maka dia adalah seorang mubtadi’ (pelaku bid’ah) menyelisihi As-Sunnah yang mutawatir dan juga Al-Quran.” (lihat Majmu’ Fatawa: 21/134)
  1. 9. Meninggalkan sebagian anggota wudhu tidak terkena air.
Merupakan suatu kewajiban dalam berwudhu adalah mengenakan air pada seluruh anggota wudhu. Hal ini merupakan syarat sahnya wudhu. Tidak sah wudhu seseorang kecuali melakukan hal tersebut. Terkadang seseorang tergesa-gesa dalam berwudhu, sehingga sebagian anggota wudhunya tidak terkena air, seperti pada ujung siku, mata kaki, sela-sela jari, baik tangan maupun kaki. Maka ini merupakan suatu kesalahan yang harus dihindarkan agar wudhunya sah.
Sebagian orang ketika mencuci kedua tangan, hanya mencukupkan diri dengan mencucinya mulai dari pergelangan tangan sampai siku saja dan meninggalkan kedua telapak tangan dengan alasan, bahwa kedua telapak tangan tersebut telah dicuci pertama kali ketika memulai wudhu. Ini tidaklah benar, karena mencuci kedua telapak tangan ketika itu hukumnya sunnah mustahabbah, sedangkan mencuci kedua tangan setelah wajah -mulai dari ujung jari tangan sampai siku- adalah wajib, tidak sah wudhu seseorang tanpanya. Jadi dibedakan antara yang pertama dengan kedua.
Demikian juga, seseorang yang terkena sesuatu yang dapat menghalangi air untuk membasahi anggota wudhunya, seperti jika terkena cat atau bahan-bahan lainnya. Sehingga ada sebagian anggota wudhu yang tidak terkena air, maka tidak sah wudhunya. Maka hendaknya seseorang berhati-hati dalam hal ini dengan memeriksa bagian tersebut dan menghilangkannya ketika berwudhu.
Perlu diperhatikan pula jika jari-jari kakinya rapat, sehingga kemungkinan besar air tidak masuk ke sela-sela jari kaki, kecuali dengan menyela-nyelanya. Maka, wajiblah baginya untuk menyela-nyela jari kaki atau tangannya agar sempurna wudhunya. Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
أَسْبِغِ الوُضُوءَ، وَخَلِّلْ بَيْنَ الأَصَابِعِ
“Sempurnakanlah wudhu dan sela-selahilah antara jari-jari kalian.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidziy, An-Nasaiy, Ibnu Majah, dan selain mereka, dishohihkan oleh Syaikhuna Ibnu Hizam -hafidzohulloh-, lihat Fathul ‘Allam: 1/160)
Para ulama menyatakan bahwa siapa yang meninggalkan apa yang wajib dibasuh atau dicuci dalam berwudhu, meskipun hanya selebar rambut, baik sengaja maupun tidak, maka tidak sah sholatnya dengan wudhu tersebut sampai ia menyempurnakannya. Hal itu karena ia belumlah teranggap mendirikan sholat dengan thoharoh (bersuci) yang diperintahkan. Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda (maknanya): “Siapa yang melakukan amalan bukan dari tuntunan kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)
Ini adalah perkara yang telah disepakati oleh para ulama. (lihat Al-Muhalla, no. 205; karya Ibnu Hazm dan Syarh Shohih Muslim: 3/132)
10. Mengangkat tangan dan menghadap kiblat setelah berwudhu.
Ini banyak dilakukan oleh awam kaum muslimin, tidak ada dalilnya yang shohih dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan tidak pula dilakukan para sahabat serta para salafush-sholeh sepeninggal beliau. Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda (maknanya): “Siapa yang mengada-adakan pada urusan agama ini perkara yang bukan darinya, maka ia tertolak.” (Muttafaqun ‘alaih)
Mengangkat tangan dan menghadap kiblat adalah termasuk perkara ibadah yang dibangun di atas dalil, karena asal dari suatu peribadahan adalah terlarang (haram), kecuali ada dalilnya yang shohih.
11. Mengucapkan doa-doa yang tak ada dalilnya.
Adapun mengucapkan do’a khusus pada setiap kali membasuh anggota wudhu; ketika membasuh wajah, tangan, kaki dan sebagainya, maka hal ini sama sekali tidak shohih dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Tidak diperkenankan bagi seorang muslim untuk melakukannya. Orang-orang awam biasanya mengatakan ketika berkumur dalam wudhunya:
اللَّهمَّ اسقِنِي من حوض نبيِّك كأساً لا أظمأ بعده أبداً،
“Ya Alloh, berikanlah segelas air dari telaga Nabi-Mu, sehingga aku tidak haus selamanya,”
ketika ber-istinsyaq membaca:
اللَّهمَّ لا تحرمنِي رائحةَ نعيمك وجنّاتك،
“Ya Alloh, janganlah Engkau haramkan atasku aroma kenikmatan dan syurga-Mu,”
ketika mencuci wajah mengatakan:
اللَّهمَّ بيِّض وجهي يوم تبيَّض وجوه وتسودُّ وجوه،
“Ya Alloh, putihkanlah wajahku pada hari diputihkan dan dihitamkannya wajah-wajah,”
ketika mencuci kedua tangan dengan mengatakan:
اللَّهمَّ أعطنِي كتابي بيميني، اللَّهمَّ لا تُعطنِي كتابي بشمالي،
“Ya Alloh, berikanlah catatan amalku dari arah kananku. Ya Alloh, janganlah Engkau berikan catatanku dari arah kiriku,”
ketika mengusap kepala mengatakan:
اللَّهمَّ حرِّم شعري وبَشَرِي على النار،
“Ya Alloh, hindarkanlah rambut dan kulitku dari api neraka,”
ketika mengusap kedua telinga membaca:
اللَّهمَّ اجعلنِي من الذين يستمعون القولَ فيتَّبعون أحسنه،
“Ya Alloh, jadikanlah aku sebagai orang yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang terbaik,”
ketika mencuci kedua kaki mengatakan:
اللَّهمَّ ثبّت قدمي على الصراط،
“Ya Alloh, tegarkanlah kaki di atas shiroth.”
Maka semuanya itu termasuk perkara yang tidak ada dalilnya sama sekali dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, tidak pula dari shohabat, tabi’in dan para imam kaum muslimin setelah mereka. Yang ada hanyalah hadits palsu, dusta atas nama Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. (lihat Al-Wabilush-Shoyyib, hal. 316; karya Ibnul Qoyyim -rohimahulloh-)
Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk mencukupkan diri dengan apa yang telah dituntunkan oleh As-Sunnah serta menjauhi apa-apa yang diada-adakan oleh manusia setelah itu.
Wallohu ‘a’lam bish-showab.
Ini adalah beberapa kesalahan dalam berwudhu yang dapat kami sampaikan pada kesempatan yang mubarok kali ini sebagai isyarat kepada yang semisalnya. Mungkin para pembaca -yang dimuliakan oleh Alloh- menemui bentuk-bentuk kesalahan lainnya termasuk dalam kategori kesalahan yang telah tersebut di atas, maka hendaknya kita saling nasehat-menasehati dalam kebaikan dan ketakwaan dengan cara yang baik dan bijaksana dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar yang merupakan salah satu pilar pokok agama ini dan kunci kejayaan umat Islam.
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِالله عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Tidaklah aku bermaksud, kecuali mengadakan perbaikan selama masih sanggup melakukannya dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan pertolongan Alloh. Hanya kepada Alloh-lah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Huud: 88)
Walhamdulillahi Robbil ‘alamin.

 Demikianlah, semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa menjaga wudhu kita. 

Sumber penulisan risalah: Asy-Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’, karya Al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin -rohimahulloh-; Tadwinul Fa’idah Fii Tafsir Ayatil-Wudhu’ Min Surotil-Ma’idah, karya Syaikhuna Yahya bin ‘Ali Al-Hajuriy; Shifatu Wudhu’in-Nabiy -‘alaihis-sholatu was-salam-, oleh Syaikh Abdulloh bin Ahmad Al-Iryaniy; Fathul ‘Allam Fii Dirosati Ahadits Bulughil-Marom; oleh Syaikhuna Muhammad bin ‘Ali bin Hizam Al-Ba’daniy -hafidzohumulloh-; Adzkarut-Thoharoh Was-Sholah, oleh Syaikh Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr –waffaqohulloh-.