Selasa, 09 Juli 2013

Sunah Selama Bulan Ramadhan.

Berikut ini adalah amalan yang sesuai sunah Nabi, baik sunah qauliyah dan fi’liyah yang bisa kita lakukan selama bulan Ramadhan.
1.       BersahurDalilnya:Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً“Bersahurlah kalian, karena pada santap sahur itu ada keberkahan.” (HR. Bukhari No. 1923, Muslim No. 1095)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
وقد أجمعت الامة على استحبابه، وأنه لا إثم على من تركهUmat telah ijma’ atas kesunahannya, dan tidak berdosa meninggalkannya. (Fiqhus Sunnah, 1/455)
Beliau menambahkan:
وسبب البركة: أنه يقوي الصائم، وينشطه، ويهون عليه الصيام.Sebab keberkahannya adalah karena sahur dapat menguatkan orang yang berpuasa, menggiatkannya, dan membuatnya ringan menjalankannya. (Ibid, 1/456)
Keutamaannya:Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ، فَلَا تَدَعُوهُ، وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَMakan sahur adalah berkah, maka janganlah kalian meninggalkannya, walau kalian hanya meminum seteguk air, karena Allah ‘Azza wa Jalla dan para malaikat mendoakan orang yang makan sahur. (HR. Ahmad No. 11086, Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: sanadnya shahih. LihatTa’liq Musnad Ahmad No. 11086)
Dari Amru bin Al-‘Ash Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السُّحُور“Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab adalah pada makan sahur.” (HR. Muslim No. 1096)
Dari hadits dua ini ada beberapa faedah:
  • Anjurannya begitu kuat, sampai nabi meminta untuk jangan ditinggalkan
  • Sahur sudah mencukupi walau dengan seteguk air minum
  • Allah ‘Azza wa Jalla dan para malaikat mendoakan (bershalawat) kepada yang makan sahur
  • Orang kafir Ahli Kitab juga berpuasa, tapi tanpa sahur
  • Berpuasa tanpa sahur secara sengaja dan terus menerus adalah menyerupai Ahli kitab
Disunnahkan menta’khirkan sahur:Dari ‘Amru bin Maimun Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كان أصحاب محمد صلى الله عليه و سلم أعجل الناس إفطارا وأبطأهم سحوراPara sahabat Muhammad SAW. adalah manusia yang paling bersegera dalam berbuka puasa, dan paling akhir dalam sahurnya. (HR. Al-Baihaqi dalam As Sunan Al-Kubra No. 7916. Al-Faryabi dalam Ash Shiyam No. 52. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf No. 9025)
Imam An-Nawawi mengatakan: “sanadnya shahih.” (Lihat Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 6/362), begitu pula dishahihkan oleh Imam Ibnu Abdil Bar, bahkan menurutnya keshahihan hadits tentang bersegera buka puasa dan mengakhirkan sahur adalah mutawatir. (Lihat Imam Al-‘Aini,‘Umdatul Qari, 17/9. Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/199)
  1. Tadarus Al-Quran dan Mengkhatamkannya
Bulan Ramadhan adalah bulan yang amat erat hubungannya dengan Al-Quran, karena saat itulah Al-Quran diturunkan.[1] Oleh karenanya aktifitas bertadarus (membaca sekaligus mengkaji) adalah hal yang sangat utama saat itu, dan telah menjadi aktivitas utama sejak masa Nabi SAW. dan generasi terbaik.
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma menceritakan:
وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَJibril menemuinya pada tiap malam-malam bulan Ramadhan, dan dia (Jibril) bertadarus Al-Quran bersamanya. (HR. Bukhari No. 3220)
Faedah dalam hadits ini adalah:
  • Rasulullah SAW. juga melakukan tadarus Al-Quran bersama Malaikat Jibril
  • Beliau melakukannya setiap malam, dan dipilihnya malam karena waktu tersebut biasanya waktu kosong dari aktifitas keseharian, dan malam hari suasana lebih kondusif dan khusyu.’
Bukan hanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi ini juga perilaku para sahabat dan generasi setelah mereka.
Imam An-Nawawi Rahimahullah menceritakan dalam kitab At Tibyan fi Aadab Hamalatil Quran, bahwa diriwayatkan oleh As Sayyid Al-Jalil Ahmad Ad Dawraqi dengan sanadnya, dari Manshur bin Zaadaan, dari para ahli ibadah tabi’in – semoga Allah meridhainya- bahwasanya pada bulan Ramadhan dia mengkhatamkan Al-Quran antara Zhuhur dan Ashar, dan juga mengkhatamkan antara Maghrib dan Isya, dan mereka mengakhirkan Isya hingga seperempat malam.
Imam Abu Daud meriwayatkan dengan sanad yang shahih, bahwa Mujahid mengkhatamkan Al-Quran antara Maghrib dan Isya. Dari Manshur, katanya bahwa Al-Azdi mengkhatamkan Al-Quran setiap malam antara Maghrib dan Isya pada bulan Ramadhan.
Ibrahim bin Sa’ad menceritakan: bahwa ayahku kuat menahan duduk dan sekaligus mengkhatamkan Al-Quran dalam sekali duduk. Ada pun yang sekali khatam dalam satu rakaat shalat tidak terhitung jumlahnya karena banyak manusia yang melakukannya, seperti Utsman bin ‘Affan, At Tamim Ad Dari, Sa’id bin Jubeir –semoga Allah meridhai mereka- yang khatam satu rakaat ketika shalat di dalam Ka’bah.
Ada juga yang khatam dalam sepekan, seperti Utsman bin ‘Affan, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab, dan segolongan tabi’in seperti Abdurrahman bin Yazid, Al-Qamah, dan Ibrahim – semoga Allah merahmati mereka semua. (Lengkapnya lihat Imam An-Nawawi, At Tibyan, Hal. 60-61)
[1] Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ                (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (Al-Baqarah (2): 185)
Tepatnya, Al-Quran diturunkan selama dua tahap sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Abbas dan Asy Sya’bi Radhiallahu ‘Anhuma. (Rinciannya lihat dalam Tafsir Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ul Bayan, 24/531-532)
Tahap pertama, pada malam qadar (Lailatul Qadr) Al-Quran diturunkan dalam satu kesatuan dari Lauh Mahfuzh ke langit dunia. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada Lailatul Qadar (malam kemuliaan).” (Al-Qadr: 1)
Tahap kedua diturunkan secara bertahap, sejak 17 Ramadhan, hal ini diterangkan oleh ayat:
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آَمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ“Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Anfal: 41)
Imam Ibnu Jarir Rahimahullah meriwayatkan demikian:
قال الحسن بن علي بن أبي طالب رضي الله عنه: كانت ليلة “الفرقان يوم التقى الجمعان”، لسبع عشرة من شهر رمضان.“Berkata Al-Hasan bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu: Adalah ‘malam Al-Furqan hari di mana bertemunya dua pasukan’ terjadi pada 17 Ramadhan.” (Jami’ Al-Bayan, 13/562. Muasasah Ar-Risalah)
  1. Bersedekah
Nabi SAW. sebagai teladan kita telah mencontohkan akhlak yang luar biasa yaitu kedermawanan. Hal itu semakin menjadi-jadi ketika bulan Ramadhan.
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, menceritakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَأَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِNabi SAW. adalah manusia yang paling dermawan, dan kedermawanannya semakin menjadi-jadi saat Ramadhan apalagi ketika Jibril menemuinya. Dan, Jibril menemuinya setiap malam bulan Ramadhan dia bertadarus Al-Quran bersamanya. Maka, Rasulullah SAW. benar-benar sangat dermawan dengan kebaikan laksana angin yang berhembus. (HR. Bukhari No. 3220)
  1. Memberikan makanan buat orang yang berbuka puasa
Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًاBarang siapa yang memberikan makanan untuk berbuka bagi orang berpuasa maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana orang tersebut, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang itu. (HR. At Tirmidzi No. 807, katanya: hasan shahih. Ahmad No. 21676, An-Nasa’i dalam As Sunan Al-Kubra No. 3332. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3952. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ No. 6415. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: hasan lighairih. Lihat ta’liq Musnad Ahmad No. 21676, Al-Bazzar dalam Musnadnya No. 3775)
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan “memberikan makanan untuk berbuka”. Sebagian menilai itu adalah makanan yang mengenyangkan selayaknya makanan yang wajar. Sebagian lain mengatakan bahwa hal itu sudah cukup walau memberikan satu butir kurma dan seteguk air. Pendapat yang lebih kuat adalah –Wallahu A’lam- pendapat yang kedua, bahwa apa yang tertulis dalam hadits ini sudah mencukupi walau sekadar memberikan seteguk air minum dan sebutir kurma, sebab hal itu sudah cukup bagi seseorang dikatakan telah ifthar (berbuka puasa).
  1. Memperbanyak doa
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومAda tiga manusia yang doa mereka tidak akan ditolak: 1. Doa orang yang berpuasa sampai dia berbuka, 2. Pemimpin yang adil, 3. Doa orang teraniaya. (HR. At Tirmidzi No. 2526, 3598, katanya: hasan. Ibnu Hibban No. 7387, Imam Ibnul Mulqin mengatakan: “hadits ini shahih.” Lihat Badrul Munir, 5/152. Dishahihkan oleh Imam Al-Baihaqi. Lihat Shahih Kunuz As sunnah An-Nabawiyah, 1/85. Sementara Syaikh Al-Albani mendhaifkannya. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2526)
Berdoa di waktu berbuka puasa juga diajarkan oleh Nabi SAW. Berikut ini adalah doanya:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika sedang berbuka puasa dia membaca: “Dzahaba Azh Zhama’u wab talatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah.” (HR. Abu Daud No. 2357, Al-Baihaqi dalam As Sunan Al-Kubra No. 7922, Ad-Daruquthni, 2/185, katanya: “isnadnya hasan.” An-Nasa’i dalam As sunan Al-Kubra No. 3329, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak No. 1536, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari- Muslim”. Al-Bazzar No. 4395. Dihasankan Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ No. 4678)
Sedangkan doa berbuka puasa: Allahumma laka shumtu … dst, dengan berbagai macam versinya telah didhaifkan para ulama, baik yang dari jalur Muadz bin Zuhrah secara mursal, juga jalur Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas. (Lihat Al-Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al-Habir, 2/444-445. Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, 1/62. Imam Abu Daud, Al-Maraasiil, 1/124, Imam Al-Haitsami, Majma’ Az Zawaid, 3/371. Syaikh Al-Albani juga mendhaifkan dalam berbagai kitabnya)
  1. Menyegerakan berbuka puasa
Dari ‘Amru bin Maimun Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كان أصحاب محمد صلى الله عليه و سلم أعجل الناس إفطارا وأبطأهم سحوراPara sahabat Muhammad SAW. adalah manusia yang paling bersegera dalam berbuka puasa, dan paling akhir dalam sahurnya. (HR. Al-Baihaqi dalam As Sunan Al-Kubra No. 7916. Al-Faryabi dalam Ash Shiyam No. 52. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf No. 9025)
Imam An-Nawawi mengatakan: “sanadnya shahih.” (Lihat Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 6/362), begitu pula dishahihkan oleh Imam Ibnu Abdil Bar, bahkan menurutnya keshahihan hadits tentang bersegera buka puasa dan mengakhirkan sahur adalah mutawatir. (Lihat Imam Al-‘Aini,‘Umdatul Qari, 17/9. Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/199)
  1. I’tikaf di – ‘asyrul awakhir
Dalilnya berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijma’, yakni sebagai berikut:
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِJanganlah kalian mencampuri mereka (Istri), sedang kalian sedang I’tikaf di masjid. (Al-Baqarah : 187)
Dari ‘Aisyah Radiallahu ‘Anha:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِBahwasanya Nabi SAW. beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatka Allah, kemudian istri-istrinya pun I’tikaf setelah itu. (HR. Bukhari, No. 2026, Muslim No. 1171, Abu Daud No. 2462. Ahmad No. 24613, dan lainnya)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًاDahulu Nabi SAW. I’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari, tatkala pada tahun beliau wafat, beliau I’tikaf 20 hari. (HR. Bukhari No. 694, Ahmad No. 8662, Ibnu Hibban No. 2228, Al-Baghawi No. 839, Abu Ya’la No. 5843, Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan, 2/53)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menceritakan adanya ijma’ tentang syariat I’tikaf:
وقد أجمع العلماء على أنه مشروع، فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في كل رمضان عشرة أيام، فلما كان العام الذي قبض فيه اعتكف عشرين يوما.Ulama telah ijma’ bahwa I’tikaf adalah disyariatkan, Nabi SAW. beri’tikaf setiap Ramadhan 10 hari, dan 20 hari ketika tahun beliau wafat. (Fiqhus Sunnah, 1/475)
HukumnyaHukumnya adalah sunnah alias tidak wajib, kecuali I’tikaf karena nazar. Kesunahan ini juga berlaku bagi kaum wanita, dengan syarat aman dari fitnah, dan izin dari walinya, dan masjidnya kondusif.
Imam Asy-Syaukani Rahimahullah mengatakan:
وقد وقع الإجماع على أنه ليس بواجب ، وعلى أنه لا يكون إلا في مسجدTelah terjadi ijma’ bahwa I’tikaf bukan kewajiban, dan bahwa dia tidak bisa dilaksanakan kecuali di masjid. (Fathul Qadir, 1/245)
Namun jika ada seorang yang bernazar untuk beri’tikaf, maka wajib baginya beri’tikaf.
Khadimus Sunnah Asy Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:
الاعتكاف ينقسم إلى مسنون وإلى واجب، فالمسنون ما تطوع به المسلم تقربا إلى الله، وطلبا لثوابه، واقتداء بالرسول صلوات الله وسلامه عليه، ويتأكد ذلك في العشر الاواخر من رمضان لما تقدم، والاعتكاف الواجب ما أوجبه المرء على نفسه، إما بالنذر المطلق، مثل أن يقول: لله علي أن أعتكف كذا، أو بالنذر المعلق كقوله: إن شفا الله مريضي لاعتكفن كذا.وفي صحيح البخاري أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” من نذر أن يطيع الله فليطعه “I’tikaf terbagi menjadi dua bagian; sunah dan wajib. I’tikaf sunah adalah I’tikaf yang dilakukan secara suka rela oleh seorang muslim dalam rangka taqarrub ilallahi (mendekatkan diri kepada Allah), dalam rangka mencari pahala-Nya dan mengikuti sunah Rasulullah SAW. Hal itu ditekankan pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sebagaimana penjelasan sebelumnya.
I’tikaf wajib adalah apa-apa yang diwajibkan seseorang atas dirinya sendiri, baik karena nazar secara mutlak, seperti perkataan: wajib atasku untuk beri’tikaf sekian karena Allah. Atau karena nazar yang mu’alaq (terkait dengan sesuatu), seperti perkataan: jika Allah menyembuhkan penyakitku saya akan I’tikaf sekian ..Dalam shahih Bukhari disebutkan, bahwa Nabi SAW. bersabda: “Barang siapa yang bernadzar untuk mentaati Allah maka taatilah (tunaikanlah).” (Fiqhus Sunnah, 1/475)
Tarawih Pada Masa RasulullahDari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة“Bahwa Rasulullah tidak pernah menambah lebih dari sebelas rakaat shalat malam, baik pada bulan Ramadhan atau selainnya.” (HR. Bukhari No. 2013, 3569, Muslim No. 738)
Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
جاء أبي بن كعب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، إن كان مني الليلة شيء يعني في رمضان ، قال : « وما ذاك يا أبي ؟ » ، قال : نسوة في داري ، قلن : إنا لا نقرأ القرآن فنصلي بصلاتك ، قال : فصليت بهن ثمان ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ولم يقل شيئاUbay bin Ka’ab datang kepada Rasulullah SAW. dan berkata: “Wahai Rasulullah, semalam ada peristiwa pada diri saya (yaitu pada bulan Ramadhan).” Rasulullah bertanya: “Kejadian apa itu Ubay?”, Ubay menjawab: “Ada beberapa wanita di rumahku, mereka berkata: “Kami tidak membaca Al-Quran, maka kami akan shalat bersamamu.” Lalu Ubay berkata: “Lalu aku shalat bersama mereka sebanyak delapan rakaat, lalu aku witir,” lalu Ubay berkata: “Nampaknya nabi ridha dan dia tidak mengatakan apa-apa.” (HR. Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 1801. Ibnu Hibban No. 2550, Imam Al-Haitsami mengatakan: sanadnya hasan. Lihat Majma’ az Zawaid, Juz. 2, Hal. 74)
Dari keterangan dua hadits di atas, kita bisa mengetahui bahwa shalat tarawih pada masa Rasulullah SAW. masih hidup adalah delapan rakaat, dan ditambah witir, dan tidak sampai dua puluh rakaat. Oleh karena itu Syaikh Sayyid Sabiq berkomentar:
هذا هو المسنون الوارد عن النبي صلى الله عليه وسلم ولم يصح عنه شئ غير ذلك“Inilah sunah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tidak ada sesuatu pun yang shahih selain ini.” (Fiqhus Sunnah, 1/206)
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata:
وَأَمَّا مَا رَوَاهُ اِبْنُ أَبِي شَيْبَةَ مِنْ حَدِيث اِبْن عَبَّاسٍ ” كَانَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَان عِشْرِينَ رَكْعَة وَالْوِتْرَ ” فَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ ، وَقَدْ عَارَضَهُ حَدِيثُ عَائِشَة هَذَا الَّذِي فِي الصَّحِيحَيْن“Dan ada pun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dari hadits Ibnu Abbas, “Bahwa dahulu Rasulullah SAW. shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan ditambah witir” maka sanadnya dha’if, dan telah bertentangan dengan hadits dari ‘Aisyah yang terdapat dalam shahihain(Bukhari dan Muslim).” (Fathul Bari, 4/253) Imam Al-Haitsami juga mengatakan: Dhaif. Lihat Majma’ Az Zawaid, 3/ 172)
Demikian keadaan shalat Tarawih pada masa Rasulullah SAW. masih hidup.
Tarawih Pada masa Sahabat dan generasi setelahnyaPada masa sahabat, khususnya sejak masa khalifah Umar bin Al-Khathab Radhilallahu ‘Anhu dan seterusnya, manusia saat itu melaksanakan shalat tarawih dua puluh rakaat.
وصح أن الناس كانوا يصلون على عهد عمر وعثمان وعلي عشرين ركعة، وهو رأي جمهور الفقهاء من الحنفية والحنابلة وداود، قال الترمذي: وأكثر أهل العلم على ما روي عن عمر وعلي وغيرهما من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم عشرين ركعة، وهو قول الثوري وابن المبارك والشافعي، وقال: هكذا أدركت الناس بمكة يصلون عشرين ركعة“Dan telah shah, bahwa manusia shalat pada masa Umar, Utsman, dan Ali sebanyak 20 rakaat, dan itulah pendapat jumhur (mayoritas) ahli fiqih dari kalangan Hanafi, Hambali, dan Daud. Berkata At-Tirmidzi: ‘Kebanyakan ulama berpendapat seperti yang diriwayatkan dari Umar dan Ali, dan selain keduanya dari kalangan sahabat nabi yakni sebanyak 20 rakaat. Itulah pendapat Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak. Berkata Asy-Syafi’i: “Demikianlah, aku melihat manusia di Mekkah mereka shalat 20 rakaat.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/206
Imam Ibnu Hajar menyebutkan:
وَعَنْ يَزِيد بْن رُومَانَ قَالَ ” كَانَ النَّاس يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَر بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ ” وَرَوَى مُحَمَّد بْن نَصْر مِنْ طَرِيق عَطَاء قَالَ ” أَدْرَكْتهمْ فِي رَمَضَان يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَة وَثَلَاثَ رَكَعَاتِ الْوِتْر ““Dari Yazid bin Ruman, dia berkata: “Dahulu manusia pada zaman Umar melakukan 23 rakaat.” Dan Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari Atha’, dia berkata: “Aku berjumpa dengan mereka pada bulan Ramadhan, mereka shalat 20 rakaat dan tiga rakaat witir.” (Fathul Bari, 4/253)
Beliau melanjutkan:
وَرَوَى مُحَمَّد اِبْن نَصْر مِنْ طَرِيق دَاوُدَ بْن قَيْس قَالَ ” أَدْرَكْت النَّاس فِي إِمَارَة أَبَانَ بْن عُثْمَان وَعُمْر بْن عَبْد الْعَزِيز – يَعْنِي بِالْمَدِينَةِ – يَقُومُونَ بِسِتٍّ وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثٍ ” وَقَالَ مَالِك هُوَ الْأَمْرُ الْقَدِيمُ عِنْدَنَا . وَعَنْ الزَّعْفَرَانِيِّ عَنْ الشَّافِعِيِّ ” رَأَيْت النَّاس يَقُومُونَ بِالْمَدِينَةِ بِتِسْعٍ وَثَلَاثِينَ وَبِمَكَّة بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ ، وَلَيْسَ فِي شَيْء مِنْ ذَلِكَ ضِيقٌ “Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari jalur Daud bin Qais, dia berkata: “Aku menjumpai manusia pada masa pemerintahan Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz –yakni di Madinah- mereka shalat 39 rakaat dan ditambah witir tiga rakaat.” Imam Malik berkata, ”Menurut saya itu adalah perkara yang sudah lama.” Dari Az-Za’farani, dari Asy Syafi’i: “Aku melihat manusia shalat di Madinah 39 rakaat, dan 23 di Mekkah, dan ini adalah masalah yang lapang.” (Ibid)
Sementara itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika mengomentari tarawih-nya Ubay bin Ka’ab yang 20 rakaat, beliau berkata:
فَرَأَى كَثِيرٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ أَنَّ ذَلِكَ هُوَ السُّنَّةُ ؛ لِأَنَّهُ أَقَامَهُ بَيْن الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَلَمْ يُنْكِرْهُ مُنْكِرٌ . وَاسْتَحَبَّ آخَرُونَ : تِسْعَةً وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً ؛ بِنَاءً عَلَى أَنَّهُ عَمَلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ الْقَدِيمِ .“Kebanyakan ulama berpendapat bahwa itu adalah sunah, karena itu ditegakkan di antara kaum Muhajirin dan Anshar dan tidak ada yang mengingkarinya. Sedangkan ulama lainnya menyunnahkan 39 rakaat, lantaran itu adalah perbuatan penduduk Madinah yang telah lampau.” (Majmu’ Al-Fatawa, 23/112)
Lalu, yang lebih baik dari semua ini? Imam Ibnu Taimiyah berkata:
وَالصَّوَابُ أَنَّ ذَلِكَ جَمِيعَهُ حَسَنٌ كَمَا قَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الْإِمَامُ أَحْمَد رَضِيَ اللَّهُ عَنْه“Yang benar adalah bahwa itu semua adalah baik, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam Ahmad Radhiallahu ‘Anhu.” (Ibid) Semoga Allah merahmati Imam Ibnu Taimiyah.
Telah masyhur dalam madzhab Imam Malik adalah 39 rakaat, demikian keterangannya:
وذهب مالك الى أن عددها ست وثلاثون ركعة غير الوتر.قال الزرقاني: وذكر ابن حبان أن التراويح كانت أولا إحدى عشرة ركعة، وكانوا يطيلون القراءة فثقل عليهم فخففوا القراءة وزادوا في عدد الركعات فكانوا يصلون عشرين ركعة غير الشفع والوتر بقراءة متوسطة، ثم خففوا القراءة وجعلوا الركعات ستا وثلاثين غير الشفع والوتر، ومضى الامر على ذلك.“Dan madzhab Imam Malik adalah 39 rakaat belum termasuk witir. Berkata Imam Az-Zarqani: ‘Ibnu Hibban menyebutkan bahwa shalat Tarawih dahulunya adalah sebelas rakaat, mereka membaca surat yang panjang dan itu memberatkan bagi mereka, lalu mereka meringankan bacaan namun menambah rakaat, maka mereka shalat 20 rakaat belum termasuk witir dengan bacaan yang sedang-sedang, kemudian mereka meringankan lagi bacaannya dan rakaatnya menjadi 39 rakaat belum termasuk witir, dan perkara ini telah berlangsung sejak lama.” (Syaikh Sayyid Sabiq,Fiqhus Sunnah, 1/206, cat kaki no. 2)
Jadi, para imam ini, tidak mempermasalahkan banyak sedikitnya rakaat. Namun mereka melihat pada esensinya yakni ketenangan dan kekhusyu’an. Jika mereka ingin membaca surat yang panjang, mereka menyedikitkan jumlah rakaat, jika mereka memendekkan bacaan, maka mereka memperbanyak jumlah rakaat.
Berkata Imam Asy-Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu:
إِنْ أَطَالُوا الْقِيَامَ وَأَقَلُّوا السُّجُودَ فَحَسَنٌ ، وَإِنْ أَكْثَرُوا السُّجُود وَأَخَفُّوا الْقِرَاءَةَ فَحَسَنٌ ، وَالْأَوَّل أَحَبُّ إِلَيَّ“Sesungguhnya mereka memanjangkan berdiri dan menyedikitkan sujud maka itu baik, dan jika mereka memperbanyak sujud dan meringankan bacaan, maka itu juga baik, dan yang pertama lebih aku sukai.” (Fathul Bari, 4/253)
Demikianlah pandangan bijak para imam kaum muslimin tentang perbedaan jumlah rakaat tarawih, mereka memandangnya bukan suatu hal yang saling bertentangan. Tetapi, semuanya benar dan baik, dan yang terpenting adalah mana yang paling dekat membawa kekhusyuan dan ketenangan bagi manusianya.
8.  Umrah ketika Ramadhan adalah sebanding pahalanya seperti haji bersama Rasulullah SAWDari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah SAW. berkata kepada seorang wanita Anshar bernama Ummu Sinan:
فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِي“Sesungguhnya Umrah ketika bulan Ramadhan sama dengan menunaikan haji atau haji bersamaku.” (HR. Bukhari No. 1863, Muslim No. 1256)
9.  Menjauhi perbuatan yang merusak puasaPerbuatan seperti menggunjing (ghibah), adu domba (namimah), menuruti syahwat (rafats), berjudi, dan berbagai perbuatan fasik lainnya, mesti dijauhi sejauh-jauhnya agar shaum kita tidak sia-sia.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُBetapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar saja. (HR. Ahmad No. 9685, Ibnu Majah No. 1690, Ad Darimi No. 2720)
Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: hasan. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 9685), Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: hadits ini shahih. (Sunan Ad Darimi No. 2720. Cet. 1, 1407H. Darul Kitab Al-‘Arabi, Beirut). Wallahu A’lam
8.       Qiyamur Ramadhan (Shalat Tarawih)-          Keutamaannya:Shalat Tarawih memiliki keutamaan dan ganjaran yang besar, sebagaimana yang disebutkan oleh berbagai hadits shahih, yakni di antaranya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِDari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Barangsiapa yang shalat malam pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap ganjaran dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 37, Muslim No. 759)
Hadits lain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِDari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi SAW. dia bersabda: “Barangsiapa yang shalat malam ketika lailatul qadar karena iman dan mengharap ganjaran dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 1901, Muslim No. 760, ini lafazh Bukhari)
Mengomentari hadits di atas, Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata:
أَنْ يُقَال قِيَام رَمَضَان مِنْ غَيْر مُوَافَقَةِ لَيْلَة الْقَدْر وَمَعْرِفَتهَا سَبَب لِغُفْرَانِ الذُّنُوب ، وَقِيَام لَيْلَة الْقَدْر لِمَنْ وَافَقَهَا وَعَرَفَهَا سَبَب لِلْغُفْرَانِ وَإِنْ لَمْ يَقُمْ غَيْرهَا“Bahwa dikatakan, shalat malam pada bulan Ramadhan yang tidak bertepatan dengan lailatul qadar dan tidak mengetahuinya, merupakan sebab diampuni dosa-dosa. Begitu pula shalat malam pada bulan Ramadhan yang bertepatan dan mengetahui lailatul qadar, itu merupakan sebab diampuni dosa-dosa, walau pun dia tidak shalat malam pada malam-malam lainnya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/41)
Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsuddin Abadi Rahimahullah berkata dalam kitabnya, Aunul Ma’bud:
( إِيمَانًا ) : أَيْ مُؤْمِنًا بِاللَّهِ وَمُصَدِّقًا بِأَنَّهُ تَقَرُّب إِلَيْهِ ( وَاحْتِسَابًا ) : أَيْ مُحْتَسِبًا بِمَا فَعَلَهُ عِنْد اللَّه أَجْرًا لَمْ يَقْصِد بِهِ غَيْره(Dengan keimanan) maksudnya adalah dengan keimanan kepada Allah, dan meyakini bahwa hal itu merupakan taqarrub kepada Allah Taala. (Ihtisab) maksudnya adalah mengharapkan bahwa apa yang dilakukannya akan mendapat pahala dari Allah, dan tidak mengharapkan yang lainnya.” (‘Aunul Ma’bud, 4/171)

Begitu pula yang dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Rahimahullah:

وَالْمُرَاد بِالْإِيمَانِ الِاعْتِقَاد بِحَقِّ فَرْضِيَّةِ صَوْمِهِ ، وَبِالِاحْتِسَابِ طَلَب الثَّوَابِ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى“Yang dimaksud ‘dengan keimanan’ adalah keyakinan dengan benar terhadap kewajiban puasanya, dan yang dimaksud dengan ‘ihtisab’ adalah mengharap pahala dari Allah Taala.” (Fathul Bari, 4/115)
-          HukumnyaHukum shalat tarawih adalah sunah bagi muslim dan muslimah, dan itu merupakan ijma’ (kesepakatan) para ulama sejak dahulu. Berkata Imam An-Nawawi Rahimahullah:
وَاجْتَمَعَتْ الْأُمَّة أَنَّ قِيَام رَمَضَان لَيْسَ بِوَاجِبٍ بَلْ هُوَ مَنْدُوب“Umat telah ijma’ bahwa qiyam Ramadhan (tarawih) tidaklah wajib, melainkan sunah.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/40, Imam Abu Thayyib, ‘Aunul Ma’bud, 4/171)
Sunahnya tarawih, karena tak lain dan tak bukan adalah ia merupakan tahajudnya manusia pada bulan Ramadhan, oleh karena itu ia disebut Qiyam Ramadhan, dan istilah tarawih baru ada belakangan. Sedangkan tahajjud adalah sunah (mustahab/mandub/tathawwu’/nafilah).
Allah Taala berfirman:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ“Dan pada sebagian malam, lakukanlah tahajjud sebagai nafilah (tambahan) bagimu.” (Al-Isra’: 79)
Imam Qatadah Radhiallahu ‘Anhu berkata tentang maksud ayat “ nafilah bagimu”:
تطوّعا وفضيلة لك.“Sunah dan keutamaan bagimu.” (Imam Abu Ja’far Ath Thabari, Jami’ Al-Bayan Fi Ta’wil Al-Quran, 17/526)
-          Boleh dilakukan sendiri, tapi berjamaah lebih afdhalShalat terawih dapat dilakukan berjamaah atau sendiri, keduanya pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. dan para sahabatnya.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
قيام رمضان يجوز أن يصلى في جماعة كما يجوز أن يصلى على انفراد، ولكن صلاته جماعة في المسجد أفضل عند الجمهور.“Qiyam Ramadhan boleh dilakukan secara berjamaah sebagaimana boleh pula dilakukan secara sendiri, tetapi dilakukan secara berjamaah adalah lebih utama menurut pandangan jumhur (mayoritas) ulama.” (Fiqhus Sunnah, 1/207)
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah SAW. shalat di masjid, lalu manusia mengikutinya, keesokannya shalat lagi dan manusia semakin banyak, lalu pada malam ketiga atau keempat mereka berkumpul namun Rasulullah SAW. tidak keluar bersama mereka, ketika pagi hari beliau bersabda:
قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ“Aku melihat apa yang kalian lakukan, dan tidak ada yang mencegahku keluar menuju kalian melainkan aku khawatir hal itu kalian anggap kewajiban.” Itu terjadi pada bulan Ramadhan. (HR. Bukhari No. 1129, Muslim No. 761)
Imam An-Nawawi Rahimahullah mengatakan:
فَفِيهِ : جَوَاز النَّافِلَة جَمَاعَة ، وَلَكِنَّ الِاخْتِيَار فِيهَا الِانْفِرَاد إِلَّا فِي نَوَافِل مَخْصُوصَة وَهِيَ : الْعِيد وَالْكُسُوف وَالِاسْتِسْقَاء وَكَذَا التَّرَاوِيح عِنْد الْجُمْهُور كَمَا سَبَق“Dalam hadits ini, menunjukkan bolehnya shalat nafilah dilakukan berjamaah, tetapi lebih diutamakan adalah sendiri, kecuali shalat-shalat nafilah tertentu (yang memang dilakukan berjamaah, pen) seperti: shalat ‘Ied, shalat gerhana, shalat minta hujan, demikian juga tarawih menurut pandangan jumhur, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/41)
Di dalam sejarah, sejak saat itu, manusia melakukan shalat tarawih sendiri-sendiri, hingga akhirnya pada zaman Umar Radhiallahu ‘Anhu, dia melihat manusia shalat tarawih sendiri-sendiri dan semrawut, akhirnya dia menunjuk Ubay bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu untuk menjadi imam shalat tarawih mereka, lalu Umar berkata:
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ“Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari No. 2010)
-          Jumlah RakaatMasalah jumlah rakaat shalat tarawih sejak dahulu telah menjadi polemik hingga hari ini. Antara yang menganjurkan 8 rakaat dengan 3 rakaat witir, atau 20 rakaat dengan 3 rakaat witir, bahkan ada yang lebih dari itu. Manakah yang sebaiknya kita jadikan pegangan? Ataukah semuanya benar, karena memang tak ada ketentuan baku walau pun Rasulullah SAW. sepanjang hidupnya hanya melaksanakan 11 rakaat? Dan apakah yang dilakukan oleh nabi tidak berarti wajib, melainkan hanya contoh saja?

Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa dan Mengurangi pahala di Bulan Ramadhan

Apa sajakah hal-hal yang membatalkan puasa? Lalu, apakah marah membuat puasa sia-sia? Dua pertanyaan ringan inilah yang sering menggelitik hati, menjelang bulan Ramadhan; yang insya Allah akan tiba pada esok hari, Sabtu, 21 Juli 2012.
Secara bahasa, puasa (shaum) berarti menahan diri dari segala sesuatu. Menurut istilah, puasa bermakna  menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan selama sehari penuh sejak fajar hingga terbenam matahari. Adapun hal-hal yang membatalkannya adalah sebagai berikut.

1) Makan dan Minum
Makan dan minum sejak subuh hingga maghrib, membatalkan puasa. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah:187, ” … dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”.
Namun, apabila seseorang tidak sengaja menyantap makanan karena lupa, puasa tersebut tetap tidak batal. Ia berhak merampungkan puasanya tersebut. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa lupa bahwa ia tengah berpuasa, kemudian makan atau minum, hendaklah ia tetap menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
2) Muntah dengan Sengaja
Seseorang yang muntah karena tidak sengaja, berhak melanjutkan puasanya. Sebaliknya, mereka yang menyengaja untuk muntah, puasanya batal. Ia wajib mengganti puasanya tersebut di kemudian hari.
Sabda Nabi, “Barangsiapa terpaksa muntah, tidak wajib mengganti (mengqadha) puasanya; dan barangsiapa yang menyengaja muntahnya, maka hendaklah ia mengganti puasanya.” (H.R. Abu Daud)
3) Tengah Haid atau Nifas
Bagi perempuan, terdapat keringanan dalam menjalankan puasa. Mereka yang haid, diperbolehkan untuk mengganti puasanya di lain hari. Demikian pula wanita yang mengeluarkan darah nifas (darah setelah melahirkan).
Diriwayatkan dari Aisyah, “Kami diperintakan oleh Rasulullah saw. untuk mengganti puasa, dan tidak diperintahkan untuk mengganti sembahyang (yang tidak dilakukan ketika seseorang haid) (H.R. Bukhari)
4) Melakukan Hubungan Suami-Istri
Puasa sejatinya menahan segala bentuk keinginan tubuh manusia. Selain hasrat untuk makan dan minum, ada hasrat dasar lain yang harus ditekan, yaitu hasrat seksual. Firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah:187, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istrimu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. …”
Mereka yang tidak dapat membendung nafsu seksualnya, diwajibkan untuk membayar kifarat, yaitu berurutan: 1) memerdekakan budak, 2) (jika tidak mampu, maka) puasa dua bulan berturut-turut, 3) (jika tidak mampu, maka) bersedekah yang mengenyangkan 60 fakir miskin, dengan ketentuan 3/4 liter per orang.
Ada yang bilang bulan Ramadhan adalah bulan untuk mencari jodoh, karena sebagian para remaja cowok dan cewek mengambil kesempatan pada saat terawih untuk bisa melirik-lirik cewek/cowok, dan pada akhirnya diajak berkenalan, hehe.. Namun ada juga anggapan orang yang bilang bulan Ramadhan adalah bulan untuk mengais rezeki. Sebab banyak para pedagang makanan tradisional berjualan di pasar ramadhan atau dipinggiran jalan raya, padahal sebelumnya tidak pernah berjualan pada bulan-bulan sebelumnya.
Namun, hal diatas hanyalah bahasan pembuka pada temaku hari ini. Dimana pembahasan sebenarnya tentang hal-hal apa saja yang dapat mengurangi pahala puasa. Tak usah panjang lebar lagi, yuk mari kita lihat sekarang juga :
1. Berbohong/berdusta
Ngakunya berpuasa, tapi selalu berkata bohong pada semua orang. Misalnya yang terjadi pada kisah seorang suami yang selalu berbohong kepada sang istri. Kasusnya adalah si istri selalu menanyakan sisa uang setoran kepada suaminya yang kerja sebagai supir angkot. Namun setiap si istri meminta sisa uang setorannya untuk membeli belanja harian, jawaban sang suami pasti tidak ada. Dengan alasan kondisi penumpang hari ini sangat sepi, jadi hanya cukup untuk uang setoran saja. Padahal ini bulan Ramadhan, tapi sang suami harus berbohong.
2. Menggunjing atau membicarakan orang
Banyak ibu-ibu majelis ta’lim saat ini, menghadiri acara pengajian di mesjid tidak memanfaatkan dengan baik. Seperti berkumpul dalam satu kelompok bersama majelis ta’lim lainnya, membicarakan ibu satu ke ibu lainnya. Padahal dalam acara pengajian rutin yang diadakan setiap minggunya pada bulan Ramadhan. Alangkah baiknya bila ingin membicarakan orang ditahan dulu hingga waktu berbuka tiba. Sebab, apabila itu tetap dilakukan, pahala puasa seseorang yang sedang menggunjing orang itu akan berkurang.

3. Mengadu domba antar sesama
Dalam hukum islam perbuatan adu domba itu terhadap sesama umat islam adalah hal yang paling dibenci oleh Allah SWT. Apalagi hal tersebut dengan sengaja dilakukan hanya untuk merusak iman kedua umatnya. Dan parahnya lagi itu dilakukan pada saat bulan Ramadhan, bulan penuh ampunan, bulan yang penuh berkah. Jadi sayang sekali bukan, bulan yang penuh dengan berbagai pahala ini harus ternoda dengan hal yang seharusnya tidak mesti dilakukan, seperti mengadu domba.
4. Sumpah palsu
Sahabat kompasianer pasti pernah menemukan suatu pristiwa mengenai sumpah palsu, entah itu terjadi disekeliling kehidupan kita ataupun melihat disiaran televisi. Perbuatan tersebut paling sering dilakukan hanya untuk meyakinkan seseorang itu. Misalnya ada seorang pemuda di suatu perkampungan, ketahuan mengambil mangga oleh seorang warga di perkebunan kepunyaan tetangganya. Namun si pemuda membantahnya bahwa ia telah mencurinya, si pemuda lalu menjelaskan bahwa ia sudah terlebih dahulu meminta ijin kepada pemiliknya. Karena warga yang mengetahui perbuatan itu tidak mempercayainya semudah itu. Ia pun rela mengucapkan sumpah palsu dengan membawa nama Allah SWT, guna untuk membuat warga itu percaya. Begitulah sedikit ilustrasi tentang sumpah palsu.

5. Melihat dengan syahwat
Untuk yang terakhir ini sahabat blogger pasti telah banyak mengetahuinya bukan, mengenai melihat lawan jenisnya dengan syahwat. Saya akan berikan kembali ilustrasinya kepada sahabat kompasianer, ada salah seorang remaja yang ingin berbelanja ta’jil dipasar Ramadhan, namun disela ia mencari ta’jil yang enak untuk berbuka puasa. Si remaja itu tidak sengaja melihat seorang remaja putri yang ingin membeli ta’jil juga dengan mengenakan pakaian yang ketat dan dapat membangkitkan gairah si remaja tersebut. Sehingga si remaja yang tidak memiliki iman yang kuat itu, malah keterusan melihatnya menjadi sengaja. Begitulah ilustrasinya, mengenai melihat dengan syahwat.

Puasa ,Bulan Ramadhan dan Nuzulul Qur'an

Puasa pada hakikatnya adalah riyadah dan mujahadah (upaya latihan dan perjuangan dan terapi penahanan nafs diri atau jiwa) dari ketidakseimbangan pendayagunaan tiga potensi, yaitu akal, kemarahan, dan syahwat. Akal yang tidak didayagunakan secara baik akan melahirkan manusia yang sombong dan durhaka, kemarahan yang tidak digunakan dengan baik akan membawa manusia kesembronoan tindakan, dan syahwat yang tidak terkendali akan membawa manusia pada pemuasan nafsu kebinatangan. Keseimbangan potensi akal, marah, dan syahwat akan membawa manusia pada keutamaan jiwa atau empat kebajikan utama yang meliputi kebijaksanaan, keberanian, keterjagaan diri dan moderasi ketiga potensi itu akhirnya membawa pada keadilan sikap. Manusia yang memiliki keempat sifat ini dinyatakan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Mizan al-‘Amal sebagai orang yang berakhlak baik, dan pada gilirannya akan membawanya pada kebahagiaan.
Apakah kemudian keutamaan akhlak yang membawa kebahagiaan ini dengan mudahnya dapat dicapai oleh seorang muslim yang berpuasa? Jika ia berpuasa dengan baik, dalam pengertian manusia benar-benar menghayati terapi pembiasaan, pelatihan dan penahanan diri ini, niscaya jawabannya adalah “iya”, insya Allah.
Kebahagiaan merupakan tuntutan dan tujuan manusia dari sejak dahulu hingga akhir zaman. Kebahagiaan dengan demikian adalah capaian yang niscaya. Namun kenyataannya, sebagian manusia hanya mengejar kebahagiaan atau kenikmatan jasad yang meliputi kesehatan, kekuatan, keelokan, dan panjang umur, kebahagiaan eksternal yang meliputi harta, keluarga, kemuliaan dan kehormatan keturunan, namun melupakan kebahagiaan akhirat, dan kenikmatan  taufik Allah. Disangkanya kesempurnaan,  keterpenuhan hasrat perut, dan seksualitas adalah tujuan dan puncak kebahagiaan. Padahal, ketika manusia lupa pada tujuan penciptaannya, maka hakikatnya pada saat itu ia tidak berbeda dengan binatang ternak yang dikuasai dorongan-dorongan biologisnya.
Puncak kebahagiaan dunia adalah kemuliaan, kedudukan, kekuasaan, dan keterlepasan dari kesedihan dan kegundahan, dan senantiasa dalam kesenangan dan kegembiraan. Sementara itu kebahagiaan akhirat sebagai kebahagiaan puncak adalah keterlepasan dari kesedihan dan kegundahan, dan senantiasa dalam kesenangan dan kegembiraan untuk selama-lamanya. Namun untuk mencapai kesemuanya pun menurut Al-Ghazali harus pula dengan ilmu dan ‘aktifitas’ amal.
Dihubungkan dengan kebahagiaan puncak, maka empat kebajikan utama yang berasal dari moderasi diri atau kebahagiaan jiwa merupakan prasyarat utama menuju kebahagiaan puncak tersebut. Karena subjek utama kebahagiaan itu adalah jiwa. Sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad sebagai berikut. Dari Nu’man ibn Basyir berkata : saya mendengar Rasulullah bersabda yang artinya: “Ingatlah bahwa sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, ketika ia baik, baik pula seluruh jasad itu, dan ketika rusak, rusak pula seluruh jasad itu, ingatlah ia adalah hati (H.R. al-Bukhari).
Mencapai kebahagiaan mutlak menghajatkan penyempurnaan jiwa dan hal itu meniscayakan untuk mengetahui keutamaan-keutamaan jiwa.  Dinyatakan oleh Mahmud Zaqzuq bahwa keutamaan itu adalah kesiapan terus menerus untuk mengerjakan kebaikan.
Menurut al-Ghazali, dalam Mizan al-‘Amal, kebahagiaan itu dapat dicapai dengan mensucikan jiwa serta menyempurnakannya dengan riyadah, mujahadah dan tabattul (beribadah menghadap penuh pada Allah) dengan cara mencapai keutamaan-keutamaan jiwa. Keutamaan jiwa ini dalam pandangan Al-Ghazali juga termasuk pokok-pokok agama atau ushul al-din.
Yang dimaksudkan al-Ghazali sebagai amal yang membawa kebahagiaan tidak lain adalah latihan atau riyadah memerangi syahwat diri. Dengan meminimalkan godaan shahwat itu juga akan meminimalkan  sebab-sebab atau faktor kegundahan. Dan memang tidak ada jalan untuk melenyapkan hal itu, kecuali dengan riyadah atau mujahadah (latihan dan perjuangan). Kesemuanya ini disebut ‘amal’ yang mengantarkan pada kebahagiaan. Al-Ghazali menyatakan:
Adapun yang dimaksud dengan ‘amal’ tidak lain adalah melatih syahwat nafsaniyah, memperbaiki atau memenjarakan  kemarahan dan memotong sifat- sifat ini, sehingga tunduk pada akal dan tidak dapat menguasai akal itu, juga menundukkannya untuk memenuhi kehendak. Barangsiapa yang mampu menundukan syahwat, maka dialah manusia merdeka sejati, bahkan pemilik atau raja. Meminimalkan shahwat berarti juga meminimalkan sebab- sebab atau sarana kegelisahan kesedihan dan tidak ada jalan untuk memalingkan syahwat kecuali dengan riyadah dan mujahadah (inilah yang disebut ‘amal).
Dalam halaman lain al-Ghazali menyatakan bahwa yang dimaksud dengan amal itu adalah memecah syahwat dengan cara memalingkan kekeruhan jiwa menuju dimensi vertikal, agar terhapus dari pengaruh jiwa kotor, hubungan rendah yang terkait dengan dimensi rendah.
Amal dapat pula dimaknakan dan dikaitkan atau dikembalikan  dengan mujahadat al-nafs dengan menghilangkan sesuatu yang tidak sepatutnya. Tentang arti mujahadah dikatakan oleh al-Ghazali bahwa ia adalah mengobati jiwa dengan cara mensucikannya untuk memperoleh kebahagiaan.
Hal tersebut sesuai dengan Al-Qur’an surat Al-Syams ayat 9-10 yang mendeskripsikan keberuntungan manusia yang mensucikan jiwanya, dan kerugian manusia yang mengotori jiwanya (Qad Aflaha Man Zakkaha wa Qad Khaba Man Dassaha).
Dalam amatan al-Ghazali ada tiga kategori manusia dalam memerangi hawa nafsu. Pertama manusia yang dikalahkan dan dikuasai hawa nafsunya. Kedua,  terjadi pertarungan antara jiwa dengan nafsu silih berganti, kadang nafsu menguasai dan kadang dikuasai. Ketiga, dapat mengalahkan dan menguasai hawa nafsu laksana raja. Hendaknya manusia jenis pertama dapat mencapai derajat kedua, dan derajat kedua dapat mencapai derajat ketiga.
Al-Ghazali kemudian menyangkal dugaan sementara manusia yang menyatakan bahwa akhlak itu tidak dapat diubah. Al-Ghazali berargumentasi bahwa seandainya akhlak itu tidak dapat diubah, niscaya kita tidak akan diperintahkan untuk memperbagus akhlak kita, sebagaimana sabda Nabi Muhammad, “Hassinu Akhlaqakum” dan akan sia-sia aneka wasiat nasehat motivasi berbuat baik dan teguran. Bukankah hewan pun dapat dididik menjadi lebih baik.
Menurut Al-Ghazali segala yang diciptakan Allah itu tidak lepas dari dua kemungkinan. Pertama, tidak dapat diubah dengan perbuatan atau usaha manusia, seperti langit, bintang,dan  anggota badan kita. Kedua, ciptaan Allah yang menerima kesempurnaan  setelah ditemukan syarat-syarat pendidikan dengan memaksimalkan ikhtiar. Proses demikian dapat diamati misalnya dari biji kurma yang berubah menjadi pohon kurma dengan pemeliharaan. Konteks puasa sebagai upaya penundukan nafsu ammarah (kemarahan dan syahwat) adalah dalam rangka perbaikan atau pendidikan akhlak ini.
Memang melepaskan akhlak tercela yaitu syahwat dan amarah (ghadab) tidak akan tercapai seketika. Namun jika manusia berkehendak mengendalikan dan memaksa syahwat dan ghadab itu dengan mujahadah dan riyadah yang tujuannya adalah untuk menyempurnakan jiwa dan juga membersihkannya, niscaya manusia akan  mampu.
Nah, semoga dengan puasa yang kita jalankan selama sebulan di tiap tahun ini, kita dapat memaknai pendidikan riyadah dan mujahadah ini dengan lebih baik, sehingga dapat mengantarkan kita pada kebahagian jiwa yang pada gilirannya nanti membawa pada kebahagiaan akhirat. Amin.

Bulan Ramadhan adalah bulan yang paling mulia bila dibandingkan dengan bulan yang lain. Karena di dalam bulan Ramadhan ada Lailatul Qadar, segala dosa umat manusia diampuni dan segala amal perbuatan kebaikan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah Swt. dan di dalam bulan Ramadlan al-Qur’an pertama kali di turunkan. Peristiwa tersebut tidak pernah ada pada selain bulan Ramadhan. Selain kitab al-Qur’an Allah juga menurunkan kitab-kitab samawi yang lain seperti kitab Taurot, Zabur dan Injil. Hanya saja hukum syariat Islam yang tertuang di dalam masing-masing kitab tersebut satu sama lain tidak sama tetapi dalam masalah ketauhidan (ketuhanan) semua kitab sama yakni sama-sama mengajarkan kepada umat manusia agar menyembah dan meng-Esa-kan Allah SWT.Al-Qur’an adalah mukjizat nabi Muhammad Saw yang paling agung bila dibandingkan dengan Mukjizat-mukjizat yang lain yang dimiliki oleh beliau Nabi dan atau bila dibanding dengan mukjizat-mukjizat lain yang dimiliki oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad. Adalah wajar jika sampai saat ini bahkan sampai hari kiamat nanti keaslian al-Qur’an masih tetap terjaga. Karena mustahil tidak ada satu orangpun di dunia ini yang dapat memalsukan/merubah ayat-ayat al-Qur’an apalagi mampu menyaingi keindahan kalam-kalam al-Qur’an. Seorang orientalis Barat yang bernama H.A.R Gibb pernah mengatakan bahwa “ Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini yang telah memainkan alat bernada nyaring yang sedemikian nyaring dan indah serta sedemikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang di baca Muhammad (al-Qur’an)”. Itulah barangkali salah satu bukti keagungan al-Qur’an.Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar yang diberikan Allah Swt kepada nabi Muhammad Saw. 14 abad yang silam. al-Qur’an memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh mukjizat yang lain yang hanya bisa dinikmati dan disaksikan pada zamannya saja. Sejak pertama kali diturunkan al-Qur’an telah mampu merubah arah dan paradigma peradaban ummat manusia dari kesesatan menuju kebenaran dan kebahagian dunia maupun akhirat. Hal ini merupakan salah satu pengaruh ajaran dan ilmu pengetahuan yang terkandung dalam al-Qur’an.Al-Qur’an pertama kali diturunkan pada malam Lailatul Qadar tanggal, 17 Ramadhan tepatnya saat beliau Nabi Muhammad Saw berusia 40 tahun. al-Qur’an diturunkan ke bumi tidak sama dengan kitab-kitab sebelumnya yang diturunkan hanya satu kali langsung selesai. Tetapi al-Qur’an diturunkan dengan cara berangsur-angsur atau sedikit demi sedikit (bertahap) sesuai dengan kebutuhan atau sesuai dengan permasalah yang terjadi saat itu untuk memberikan jawaban atas permasalah yang dihadapi para Sahabat nabi kala itu.Al-Qur’an diturunkan (Nuzulul Qur’an) membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Apa hikmahnya? Adalah untuk menguatkan rasa cinta hati nabi Muhammad dan para sahabat nabi agar selalu merasa senang setiap kali turunnya ayat al-Qur’an. Disamping itu, al-Qur’an diturunkan dengan cara berangsur-angsur agar supaya para sahabat lebih mudah menghafalkan ayat-ayat al-Qur’an yang telah diturunkan lebih dahulu.al-Qur’an diturunkan ada kalanya yang mempunyai sebab (Asbab an-Nuzul) seperti ayat al-Qur’an yang diturunkan untuk menjawab sebuah pertanyaan dari permasalah yang dihadapi para sahabat Nabi kala itu,ataupun pertanyaan yang disampaikan oleh orang-orang kafir. Namun ada juga ayat al-Qur’an yang diturunkan tetapi tidak mempunyai Asbab an-Nuzul seperti ayat al-Qur’an yang diturunkan untuk menceritakan umat-umat Nabi terdahulu atau menjelaskan tentang perkara-perkara gaib yang akan terjadi di hari nanti. Seperti ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang surga atau neraka, ataupun ayat al-Qur’an yang menggambarkan tentang kejadian hari kiamat nanti, ayat-ayat al-Qur’an yang seperti itu diturunkan tidak mempunyai \Asbab an-Nuzul. Ayat al-Qur’an seperti itu, diturunkan oleh Allah dimaksudkan untuk memberikan hidayah kepada umat manusia agar mau mengambil hikmah dari semua kejadian yang diceritakan oleh al-Qur’an terutama ayat al-Qur’an yang menceritakan tentang adzab, musibah dan bencana dari Allah yang diturunkan kepada ummat-ummat terdahulu yang merupakan akibat dari perbuatan dosa yang telah mereka lakukan. Sehingga kita semua mau kembali ke jalan yang benar yang diridhoi oleh Allah Swt untuk tidak melakukan dosa dan maksiat kepada Allah Swt.Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Swt. sebanyak 30 juz, 114 surah, 6.236 ayat. Isi kandungannya dibagi menjadi tiga bagian. Sebagian dari isi al-Qur’an menjelaskan tentang sifat wajib Allah. Sebagian yang lain isi kandungan al-Qur’an menjelaskan tentang hukum-hukum syariat Islam dan sebagian diantaranyamenceritakan tentang kejadian dan perilaku umat nabi terdahulu baik umat yang beriman kepada Allah ataupun umat yang inkar kepada-Nya.Ada sebuah pertanyaan yang sangat sederhana. al-Qur’an adalah kalamullah (Firman Allah), Kalamullahsecara tinjauan ilmu tauhid adalah sesuatu yang tidak ada huruf dan tidak ada suaranya, ( Maa laisa biharfin walaa sautin ) tapi kenapa al-Qur’an yang merupakan kalamullah ternyata ada huruf dan ada suaranya bila dibaca? Dalam sebuah keterangan dijelaskan bahwa kalamullah terbagi menjadi 2 (dua) bagian:1. Ada kalamullah sebangsa sifat yang maha terdahulu yang melekat pada dzatnya Allah. Kalamullahseperti itu yang tidak ada huruf dan suaranya;2. Ada Kalamullah sebangsa lafadz yang diturunkan kepada para Nabi/Rasul, Kalamullah yang seperti ini yang ada huruf dan suaranya. Seperti al-Qur’an, Taurot, Injil dan Zabur.Untuk itu, dengan momentum bulan Ramadlan ini mari kita sama-sama untuk membudayakan agar rumah, kantor, masjid/mushola dan sekolahkita selalu dihiasi dengan bacaan al-Qur’an. Jadikan generasi muda kita generasi yang cinta al-Qur’an, jadikan hidup kita agar selalu berpegang teguh dengan ajaran al-Qur’an. Insya Allah semakin sering kita membaca dan mengamalkan perintah al-Qur’an semakin besar harapan kita untuk mendapatkan syafa’at dari al-Qur’an di hari Kiamat nanti. Amiin.Rio Pranata 

Hal-hal yang Diangap Membatalkan Puasa

Berbicara puasa tentu tidak bisa dipisahkan dengan hal-hal yang membatalkannya. Menjadi urgen untuk terus dikaji karena di masyarakat juga tumbuh fikih-fikih tertentu kaitannya dengan pembatal-pembatal puasa yang sangat masyhur, namun sesungguhnya tidak dibangun di atas dalil.Ada sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara kaum muslimin seputar pembatal-pembatal puasa. Di antaranya memang ada yang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara para ulama. Namun ada pula hanya sekadar anggapan yang berlebih-lebihan dan tidak dibangun di atas dalil.Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan—cetakan pertama dari penerbit Adhwa’ as-Salaf—yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti asy-Syaikh Ibnu Baz, asy-Syaikh al-‘Utsaimin, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in.Di antara faedah yang bisa kita ambil dari kitab tersebut adalah:
1.    Bahwa orang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa, dan tidak tahu dari sisi hukumnya, tidaklah batal puasanya. Begitu pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya, seperti orang yang menunaikan sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t setelah menjelaskan tentang pembatal-pembatal puasa, berkata, “Pembatal-pembatal ini akan merusak puasa, namun tidak merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukumnya, ingat (tidak dalam keadaan lupa), dan bermaksud melakukannya (bukan karena terpaksa).”
Kemudian beliau t membawakan beberapa dalil. Di antaranya hadits yang menjelaskan bahwa Allah l telah mengabulkan doa yang tersebut dalam firman-Nya:
“Ya Allah, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah (karena tidak tahu).” (al-Baqarah: 286)
(Hadits yang menjelaskan hal tersebut ada di Shahih Muslim).
Begitu pula ayat ke-106 di dalam surat an-Nahl yang menjelaskan tidak berlakunya hukum kekafiran terhadap orang yang melakukan kekafiran karena dipaksa. Maka hal ini tentu lebih berlaku pada permasalahan yang berhubungan dengan pembatal-pembatal puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/426—428)
Yang dimaksud oleh asy-Syaikh al-‘Utsaimin t adalah apabila orang tersebut benar-benar tidak tahu dan bukan orang yang tidak mau tahu, wallahu a’lam. Sehingga orang yang merasa dirinya teledor atau lalai karena tidak mau bertanya, tentu yang lebih selamat baginya adalah mengganti puasanya atau ditambah dengan membayar kaffarah bagi yang terkena kewajiban tersebut. (Lihat fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz t di dalam Fatawa Ramadhan, 2/435)
2.    Orang yang muntah bukan karena keinginannya (tidak sengaja) tidaklah batal puasanya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:
مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عـَليَهِ قَضَاءٌ، وَإِنِ اسْـتَقَاءَ فَلْيَـقْضِ
“Barang siapa yang muntah karena tidak disengaja, maka tidak ada kewajiban bagi dia untuk mengganti puasanya. Dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti puasanya.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani t di dalam al-Irwa’ no. 930)
Oleh karena itu, orang yang merasa mual ketika dia menjalankan puasa, sebaiknya tidak memuntahkan apa yang ada dalam perutnya karena hal ini akan membatalkan puasanya. Jangan pula dia menahan muntahnya karena ini pun akan berakibat negatif bagi dirinya. Maka biarkan muntahan itu keluar dengan sendirinya karena hal tersebut tidak membatalkan puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/481)
3.    Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Asy-Syaikh Ibnu Baz t berkata, “Tidak mengapa untuk menelan ludah. Saya tidak melihat adanya perselisihan ulama dalam hal ini, karena hal ini tidak mungkin untuk dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak, wajib untuk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal itu memungkinkan untuk dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”
4. Keluar darah bukan karena keinginannya seperti luka, atau karena keinginannya namun dalam jumlah yang sedikit, tidaklah membatalkan puasa. Asy-Syaikh al-‘Utsaimin t berkata dalam beberapa fatwanya:
a.    “Keluarnya darah di gigi tidaklah memengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak tertelan….”
b.     “Tes darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa, yaitu pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya, tidaklah mengapa….”
c.    “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak jika berakibat sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal puasanya)….” (Fatawa Ramadhan, 2/460—466)
Maka, orang yang keluar darahnya akibat luka di giginya baik karena dicabut atau karena terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia tidak boleh menelan darah yang keluar itu dengan sengaja. Begitu pula orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan darahnya tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga membuat badannya lemah, maka hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam (yaitu mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan).
Meskipun terjadi perbedaan pendapat yang cukup kuat dalam masalah ini, namun yang menenangkan tentunya adalah keluar dari perbedaan pendapat. Maka bagi orang yang ingin melakukan donor darah, sebaiknya dilakukan di malam hari, karena pada umumnya darah yang dikeluarkan jumlahnya besar. Kecuali dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, maka dia boleh melakukannya di siang hari. Namun yang lebih hati-hati adalah agar dia mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan.
5.    Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman. Berbeda halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena berfungsi sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat, apakah mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut dan hidung, ataukah bukan. Namun wallahu a’lam, yang benar adalah bahwa keduanya bukanlah saluran yang akan mengalirkan obat ke kerongkongan. Maka obat yang diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa. Meskipun bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak mengapa baginya untuk mengganti puasanya agar keluar dari perselisihan. (Fatawa Ramadhan, 2/510—511)
6.    Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa selama tidak keluar air mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi. Rasulullah n bersabda dalam sebuah hadits sahih yang artinya, “Dahulu Rasulullah n mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk (istrinya) dalam keadaan beliau puasa. Akan tetapi beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” (Lihat takhrijnya dalam kitab al-Irwa’, hadits no. 934)
Akan tetapi bagi orang yang mengkhawatirkan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekadar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah n bersabda:
…يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي…
“(Orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku (Allah l).” (Sahih, HR. Muslim)
Beliau n juga bersabda:
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ
“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan.” (HR. at-Tirmidzi dan an-Nasa’i, dan At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.” Dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’)
7.    Bagi laki-laki yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar rumah memakai wewangian. Namun bila wewangian itu berasal dari suatu asap atau semisalnya, maka tidak boleh untuk menghirup atau mengisapnya. Juga diperbolehkan baginya untuk menggosok giginya dengan pasta gigi kalau dibutuhkan. Namun dia harus menjaga agar tidak ada yang tertelan ke dalam kerongkongan, sebagaimana diperbolehkan bagi dirinya untuk berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan tidak terlalu kuat agar tidak ada air yang tertelan atau terhisap. Namun seandainya ada yang tertelan atau terhisap dengan tidak sengaja, tidaklah membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan at-Tirmidzi, 3/788, an-Nasa’i, 1/66, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’, hadits no. 935)
8.    Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala dan badannya dengan air untuk mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan boleh pula untuk berenang di air dengan selalu menjaga agar tidak ada air yang tertelan ke kerongkongan.
9.    Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk kerongkongan.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas c dalam sebuah atsar, “Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang akan dia beli.” (Atsar ini dihasankan asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’ no. 937)
Demikian beberapa hal yang bisa kami ringkaskan dari penjelasan para ulama. Yang paling penting bagi setiap muslim, adalah meyakini bahwa Rasulullah n tentu telah menjelaskan seluruh hukum yang ada dalam syariat Islam ini. Maka, kita tidak boleh menentukan sesuatu itu membatalkan puasa atau tidak dengan perasaan semata. Bahkan harus mengembalikannya kepada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta penjelasan para ulama.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Jumat, 05 Juli 2013

Keutamaan dan Keistimewaan Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah bulan yang selalu dinanti – nanti. bagi orang – orang mukmin, kepergian bulan Ramadhan jauh lebih disesalkan daripada kepulangan seorang tamu mulia yang berlalu pergi. Tak heran bilamana para salaf dahulu berdoa jauh – jauh hari sebelum Ramadhan datang :

" Yaa Allah, pertemukanlah aku dengan Ramadhan, dan pertemukanlah Ramadhan denganku, dan jadikan amal ibadahku pada bulan mulia itu diterima disisi Mu "
Sekilas kita bertanya – tanya, " apa sih keutamaan bulan Ramadhan dibandingkan bulan – bulan yang lain ? " dalam postingan kali ini, akan kami sebutkan sedikitnya sepuluh keutamaan bulan Ramadhan, meskipun sebenarnya banyak sekali keutamaan bulan yang mulia ini yang telah disebutkan oleh para ulama. Yang kami harapkan bisa bermanfaat bagi kita semua.

1 – Al Qur’an Diturunkan Pada Bulan Ramadhan
Allah ta’ala berfirman :
“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan ) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda ( antara yang hak dan yang bathil )“ ( Al Baqarah : 185 )

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata ( Allah ta’ala memuji bulan bulan Puasa diantara bulan – bulan lainnya, dengan memilih bulan tersebut ( sebagai waktu ) diturunkannya Al Qur’an ) lihat Tafsir Ibnu Katsir 1 / 282

“Karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir ( di negeri tempat tinggalnya ) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan ( lalu ia berbuka ), Maka ( wajiblah baginya berpuasa ), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur “ ( Al Baqarah : 185 )

Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah berkata ( dalam ayat yang mulia ini Allah menyebutkan 2 keutamaan bulan Ramadhan: ……………. Yang kedua adalah dengan diwajibkannya puasa Ramadhan atas umat ini, sebagaimana firman Allah “ karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir ( di negeri tempat tinggalnya ) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, “ ) lihat ithaaful Iman bi Duruus Syahri Ramadhan hal. 15

3. Pintu Langit Dibuka Sedangkan Pintu – Pintu Neraka Ditutup
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

إذا دخل شهر رمضان فتحت أبواب السماء و غلقت أبواب جهنم و سلسلت الشياطين

“Apabila telah datang bulan Ramadhan, pintu – pintu langit dibuka, sedangkan pintu – pintu neraka akan ditutup, dan setan dibelenggu“ ( diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim )

4. Diampuninya Dosa – Dosa Di Bulan Itu
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

من صام رمضان إيماناً واحتساباً غُفر له ما تقدم من ذنبه

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa – dosanya yang telah lalu“ ( diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim )

Dalam hadits lain beliau bersabda :

رغم أنف رجل دخل عليه رمضان ثم انسلخ قبل أن يغفر له

“Celakalah seseorang, ia memasuki bulan Ramadhan kemudian melaluinya sedangkan dosanya belum diampuni “ ( diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ahmad )

5. Dilipat Gandakan Pahala Pada Bulan Ramadhan
Rasulullah shallallah alaihi wa sallam bersabda :

عمرة في رمضان تعدل حجة

“Pahala umrah pada bulan Ramadhan menyamai pahala ibadah haji“ ( diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim ), Dalam riwayat Muslim disebutkan “……..menyamai pahala ibadah haji bersamaku“

Ibnu Rajab rahimahullah berkata ( Abu Bakr bin Abi Maryam menyebutkan bahwa banyak guru – gurunya yang berkata : apabila telah dating bulan Ramadhan maka perbanyaklah berinfaq, karena infaq pada bulan Ramadhan dilipat gandakan bagaikan infaq fi sabilillah, dan tasbih pada bulan Ramadhan lebih utama daripada tasbih di bulan yang lain )

6. Lailatul Qadr Ada Di Bulan Ramadhan
Lailatul Qadr ( malam kemuliaan ) adalah suatu malam yang ada pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, yang mana malam tersebut memiliki banyak sekali barakah dan kemuliaan, bahkan satu malam tersebut lebih baik dari seribu bulan.

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar“ ( Al Qadr : 1-5 )

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

إن هذا الشهر قد حضركم و فيه ليلة خير من ألف شهر من حرمها فقد حرم الخير كله

“Sesungguhnya bulan (Ramadhan) telah dating kepada kalian, di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dari seribu bulan, barang siapa yang tidak mendapatinya maka ia telah kehilangan banyak sekali kebaikan“ ( diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dihasankan oleh Al Mundziry )

7. Disyareatkannya I’tikaf Di Bulan Ramadhan
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu.

Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa “ ( Al Baqarah : 187 )
Anas radhiallahu anhu berkata :

“Adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan, sampai beliau wafat, kemudian istri – istri beliau pun beri’tikaf setelahnya“ ( diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim )

8. Puasa Ramadhan Salah Satu Sebab Masuk Surga
Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ada dua orang dari bani Qudha’ah yang masuk islam, kemudian salah seorang dari mereka mati syahid, sementara yang satunya wafat setahun kemudian, salah seorang sahabat bernama Thalhah bin Ubaidillah radhiallahu anhu berkata : aku bermimpi melihat surga, lalu aku melihat orang yang wafat setahun kemudian tersebut masuk surga sebelum orang yang mati syahid, akupun terheran – heran, maka tatkala pagi hari aku memberitahu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliaupun bersabda :

أليس قد صام بعده رمضان و صلى ستة آلاف أو كذا و كذا رعكة صلاة سنة

“Bukankah setelah itu ( dalam waktu setahun ) ia berpuasa Ramadhan, shalat enam ribu rakaat atau shalat sunnah beberapa rakaat?“ ( diriwayatkan oleh Ahmad dan dishahihkan oleh Albani )


9. Bulan Ramadhan Bulan Ibadah Dan Amal Kebaikan
Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda :

من قام رمضان إيمانا و احتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

“Barangsiapa yang berdiri shalat pada bulan Ramadhan dengan penuh iman dan mengharap pahala maka akan diampuni dosa – dosanya yang telah lalu“ ( diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim )

Inilah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, apabila telah memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau mengencangkan sarung beliau, menghidupkan malam Ramadhan, dan membangunkan keluarganya.

Inilah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi apabila datang bulan Ramadhan.

10. Bulan Ramadhan Adalah Bulan Penuh Berkah, Rahmat, Dan Mustajabnya Doa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

أتاكم رمضان شهر مبارك

“Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan penuh berkah“ ( diriwayatkan oleh An Nasai dan dishahihkan oleh Albani )

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

إذا دخل شهر رمضان فتحت أبواب الرحمة و غلقت أبواب جهنم و سلسلت الشياطين

“Apabila telah masuk bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu – pintu rahmat, sedangkan pintu – pintu neraka jahannam ditutup, dan setanpun dibelenggu“ ( diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dan ini adalah lafadz Muslim )

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

إن لكل مسلم في كل يوم و ليلة – يعني في رمضان – دعوة مستجابة

“Sesungguhnya setiap muslim pada tiap siang dan malam hari – pada bulan Ramadhan – memiliki doa yang mustajab“ ( diriwayatkan oleh Al Bazzar dan dishahihkan oleh Albani )

Demikian sedikit keutamaan Ramadhan yang bisa kami sajikan. Semoga Allah memudahkan menerima amal ibadah kita di mulia ini. Aamiin.

PUASA RAMADHAN 2013


AWAL PUASA RAMADHAN 2013: Muhammadiyah Mulai Berpuasa 9 Juli
BISNIS.COM, JAKARTA-Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkan 1 Ramadhan 1434 Hijriyah/2013 Masehi jatuh pada Selasa Wage, 9 Juli 2013 dan 1 Syawal 1434 H/2013 M jatuh pada Kamis Wage, 8 Agustus 2013.

Penetapan itu ditetapkan oleh PP Muhammadiyah berdasarkan hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, ditandatangani oleh Ketua umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dan Sekretaris umum PP Mummadiyah Danarto, seperti tertuang dalam Maklumat No.04/MLM/I.0/E/2013 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah 1434 H tertanggal 23 Mei 2013.

Menurut maklumat itu, ijtimak jelang Ramadan 1434 H terjadi pada hari Senin Pon, 8 Juli 2013 M pukul 14:15:55 WIB. Tinggi bulan pada saat terbenam Matahari di Yogyakarta ( + : : -07" 48, dan ),: 110o 21, BT ) *0o 44' 59" (hilal sudah wujud). Pada saat Matahari terbenam tanggal 8 Juli 2013 M (hari Senin), di sebagian wilayah barat. Kemudian, Indonesia hilal sudah wujud dan di sebagian wilayah timur Indonesia belum wujud.

Dengan demikian, garis batas wujudul hilal melewati wilayah Indonesia dan membagi wilayah Indonesia menjadi dua bagian.

"1 Ramadhan 1434 H jatuh pada Selasa Wage, 9 Juli 2013".
Selain itu, ijtimak jelang Syawal 1434 H terjadi pada hari Rabu Pon, 7 Agustus 2013 M pukul 04:52:19 WIB. Tinggi bulan pada saat terbenam Matahari di Yogyakarta ( 0 : -07" 48, dan l": l l0o 21, BT ) : *03o 54' ll" (hilal sudah wujud) dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat terbenam matahari itu, bulan berada di atas ufuk.

"1 Syawal 1434 H jatuh pada Kamis Wage, 8 Agustus 2013".
Berdasarkan penetapan ini, kemungkinan akan terjadi perbedaan awal puasa Ramadhan.

Sebelumnya, Badan Hisab Rukyat Provinsi Sumatra Utara telah memutuskan awal Ramadhan 1434 Hijriyah/2013 Masehi jatuh pada Rabu, 10 Juli 2013 dan 1 Syawal 1434 H/2013 M jatuh pada Kamis, 8 Agustus 2013. Meskipun demikian, Badan Hisab Rukyat (BHR) Sumut mengimbau umat Islam untuk menunggu sidang itsbat Menteri Agama RI.

"Penetapan awal Ramadhan dan awal Syawal tetap saja ada potensi perbedaan. Namun masyarakat diimbau dapat menyikapi perbedaan itu secara arif dan bijaksana. Jangan sampai ada keributan dan konflik," kata H.Arso, Ketua BHR Sumut.

Dalam keterangan pers di laman Kemenag Sumut, Ketua Badan Hisab Rukyat Sumut, H.Arso mengatakan awal Ramadhan 1434 H jatuh pada Rabu, 10 Juli 2013 berdasarkan pada ijtimak awal Ramadhan 1434 H terjadi pada Senin, 8 Juli 2013 pukul 4j 14m 05d WIB.

"Ketika matahari terbenam pada hari terjadinya ijtimak, di seluruh Indonesia tinggi hilal antara : -000 47’ 19” s.d. +000 16’ 51” (belum memenuhi kriteria imkan rukyat +20) berdasarkan pada ikmal Sya’ban 1434 H," katanya.

Dia menambahkan adapun 1 Syawal 1434 H jatuh pada Kamis, 8 Agustus 2013 berdasarkan ijtimak awal Syawal 1434 H terjadi pada Rabu, 7 Agustus 2013 pukul 04j 05m 33d WIB.

"Ketika matahari terbenam pada hari terjadinya ijtimak, di seluruh Indonesia tinggi hilal sudah berada di atas ufuk antara : +010 59’ 45” s.d. +030 23’ 09” (telah mencapai kriteria imkan rukyat +020) berdasarkan pada kriteria imkan rukyat," tuturnya.